- PERGULATAN MANUSIA DENGAN KEMANUSIAANNYAOleh: Muslih.
Martinus Dwiyanto Setyawan adalah seorang sastrawan anak dan pendidik yang dikenal tidak hanya karena karya-karyanya yang menyentuh dunia anak-anak, tetapi juga karena kepeduliannya terhadap isu-isu kemanusiaan dan kesetaraan gender. Dalam tulisannya, ia kerap mengangkat nilai-nilai inklusif, empati, serta pentingnya menghapus diskriminasi berbasis gender, bahkan sejak usia dini.
Sebagai penulis, Martinus Dwiyanto Setyawan meyakini bahwa sastra anak memiliki kekuatan besar untuk membentuk karakter dan cara pandang anak-anak terhadap dunia. Oleh karena itu, ia memasukkan pesan-pesan moral dan sosial yang kuat ke dalam cerita-ceritanya---mendorong pembaca muda untuk menghargai perbedaan, menolak ketidakadilan, dan membangun solidaritas antarsesama.
Komitmennya pada kemanusiaan juga tercermin dari aktivitasnya di luar dunia kepenulisan, di mana ia aktif dalam berbagai gerakan literasi, pendidikan, dan advokasi hak anak. Ia percaya bahwa dunia yang lebih adil dan setara harus dimulai dari pendidikan dan pemahaman sejak dini, salah satunya melalui karya sastra.
Di tengah derasnya arus informasi dan kompleksitas problem sosial yang membelit masyarakat modern, hadirnya suara-suara yang jernih dan membumi menjadi sangat penting. Salah satu suara tersebut datang dari dunia sastra anak---dunia yang sering kali dipandang remeh, tetapi justru menyimpan kekuatan besar dalam membentuk masa depan. Martinus Dwiyanto Setyawan adalah salah satu tokoh penting dalam dunia sastra anak di Indonesia, yang menjadikan kemanusiaan sebagai fondasi utama dalam setiap karya dan aktivitas literasinya.
Martinus bukan hanya seorang penulis cerita anak biasa. Ia adalah seorang sastrawan yang memaknai tulisannya sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Dalam pandangannya, sastra bukan hanya sarana hiburan, tetapi juga jendela kesadaran, cermin empati, dan alat perubahan sosial. Ia percaya bahwa lewat cerita, terutama yang dibaca dan dinikmati oleh anak-anak, nilai-nilai kemanusiaan bisa ditanamkan sejak dini---mulai dari kasih sayang, keadilan, hingga keberanian untuk menolak diskriminasi.
Salah satu ciri khas karya Martinus adalah keberpihakannya pada yang lemah dan tersisih. Ia sering kali mengangkat tokoh-tokoh anak yang menghadapi tantangan berat: kemiskinan, perundungan, ketidaksetaraan gender, hingga eksploitasi. Namun alih-alih menjadikan mereka korban pasif, Martinus justru membangun karakter yang kuat, berani, dan mampu melihat dunia dengan cara yang lebih adil dan manusiawi. Dari sanalah muncul pesan moral yang tak menggurui, tetapi menyentuh dan menggerakkan.
Komitmennya terhadap isu kemanusiaan tidak berhenti pada teks. Martinus juga aktif terlibat dalam kegiatan literasi di berbagai daerah, terutama di wilayah-wilayah terpencil dan kurang mendapat akses pendidikan layak. Ia meyakini bahwa hak atas pendidikan dan bacaan berkualitas adalah bagian dari hak asasi manusia. Dalam setiap kegiatan, ia membawa semangat bahwa setiap anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi, budaya, atau gender, memiliki hak yang sama untuk tumbuh dalam lingkungan yang sehat secara intelektual dan emosional.
Isu kesetaraan gender juga menjadi perhatian penting dalam karya dan perjuangannya. Martinus memahami bahwa konstruksi sosial yang bias gender sering kali bermula dari masa kanak-kanak, lewat cerita-cerita yang melegitimasi peran tradisional laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, ia mencoba mendobrak narasi-narasi lama tersebut dengan menulis cerita yang lebih setara: tokoh perempuan yang berani, tokoh laki-laki yang penuh empati, dan dunia imajinatif di mana identitas gender bukanlah batasan, melainkan keberagaman yang harus dirayakan.
Martinus juga termasuk penulis yang vokal terhadap isu-isu kemanusiaan global. Ia sering menulis esai, puisi, atau catatan reflektif yang merespons berbagai tragedi kemanusiaan---dari konflik bersenjata, pengungsian, hingga krisis iklim yang berdampak pada anak-anak. Baginya, menjadi sastrawan berarti menjadi manusia yang peka. Kepedulian bukan pilihan, tetapi kewajiban moral. Sastra, dalam hal ini, menjadi jalan untuk membangun jembatan antara nurani dan tindakan nyata.
Dalam berbagai forum, baik lokal maupun internasional, Martinus kerap menyuarakan pentingnya menjadikan sastra anak sebagai media pembentukan karakter bangsa. Ia mengkritik keras kecenderungan dunia pendidikan yang hanya fokus pada capaian akademik, tetapi abai pada pembangunan nilai. Ia percaya bahwa karakter yang kuat hanya bisa tumbuh lewat pendidikan yang menyentuh hati---dan sastra adalah salah satu jalannya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!