DWIANTO SETYAWAN TOKOH SASTRAWAN PENTING ERA REVOLUSI INDUSTRI CETAK PASCAKOLONIALOleh Mulyadi J. Amalik
Pada 1980-an, siapa golongan masyarakat Indonesia yang bisa mengonsumsi bacaan cetak, seperti majalah, buku, atau koran, secara rutin dengan berlangganan? Dapatlah dipastikan golongan masyarakat itu kelas menengah dan kelas atas perkotaan. Namun, kelas menengah dan kelas atas perdesaan yang infrastruktur pemerintahan desanya sudah mapan, terutama pada jalur transportasi dan informasi, pun tak kalah dengan kaum urban. Koran, majalah, dan buku cetak yang sangat gampang dibaca rutin masyarakat menengah dan atas di kota juga menyusup rutin ke jantung masyarakat menengah dan atas di desa.
Indonesia pascakolonial melahirkan sastrawan dan pembaca sastra era cetakan buku, koran, dan majalah dari lapisan masyarakat terbatas di atas. Dwianto Setyawan adalah salah satu sastrawan penulis sastra anak yang lahir di dalamnya. Namun, sastra, sastrawan, dan bahan bacaan sastra cetak adalah tiga hal yang sangat mahal, baik dalam arti finansial maupun kuantitas pembelajar dan sebarannya. Lewat pendidikan yang berpusat di sekolah-sekolah dan juga rumah tangga kaum terdidik, muncul guru-guru dan para pelajar serta anak-anak generasi rumah tangga yang gemar membaca.
Wilayah Indonesia yang luas dengan sebaran penduduk yang terpusat di Pulau Jawa menimbulkan ketimpangan bagi anak-anak di luar Pulau Jawa. Lantaran itu, perkembangan sastra, sastrawan, dan bahan bacaan sastra cetak tak segera melahirkan keunggulan kompetitip di sektor literasi sastra dan kelahiran sastrawan dari anak-anak yang tinggal di pulau-pulau selain Jawa.
Revolusi Industri Cetak
Pascakolonial (ambil contoh pada dekade 1970-an), revolusi industri cetak di Indonesia pada bidang penerbitan buku, majalah, dan koran sudah melampaui fase produksi massal industri yang semula hanya digerakkan oleh listrik. Pada 1980-an, Jawa adalah sentral kekuatan industri cetak massal. Revolusi Industri 3.0 (mulai 1969), yaitu penerapan teknologi informasi dan elektronika dalam sistem otomatik produksi, sudah dimulai dan terhidang dari Pulau Jawa sebagai sentral percetakan dan penerbitan skala industri besar. Pada masa itu, percetakan dan penerbitan Gramedia, sebagai contoh, sudah tumbuh bagai balita gurita raksasa bergizi pascakolonial.
Kekuatan monumental industri cetak itulah yang membentuk dan mendukung kesadaran sastrawi sastrawan Dwianto Setyawan dalam karya-karya sastranya. Ia tumbuh bersama gurita Penerbit Gramedia itu di sektor industri cetak, khususnya bacaan-sastra anak. Spesifikasi bacaan sastra untuk anak oleh Dwianto Setyawan adalah pilihan strategis dan eksklusif. Bila dikaitkan dengan tujuan Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun  II (1 April 1974 hingga 31 Maret 1979) pemerintahan Orde Baru, posisi anak-anak dalam keluarga Indonesia tentu erat dengan pemenuhan kelayakan sandang-pangan dan kesejahteraan rakyat. Apalagi, kemajuan terpesat Repelita II terletak di bidang pendidikan yang tak lepas dari bacaan edukatif untuk anak-anak. Poin sama masih sejalan dengan Repelita III (1 April 1979 hingga 31 Maret 1984) yang menargetkan kecukupan sandang-pangan dan pendidikan yang layak untuk rakyat.
Meskipun proyek Inpres penerbitan ribuan buku bacaan anak masa Orde Baru era 1970-an dan 1980-an dikritik minus penilaian kualitas, gelombang massal industrialisasi buku-cetak ini menjadi celah tersembunyi bagi eksistensi penulis independen Dwianto Setyawan. Katakanlah kurikulum pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah masa itu tak memerioritaskan pelajaran sastra dibanding materi tata bahasa, tetapi ada pendidikan nonformal di tengah masyarakat yang berjalan sinambung. Contohnya adalah sanggar seni sastra, komunitas teater dan sastra, lembaga kursus bahasa yang memuat sastra, ajang rutin lomba baca dan cipta seni sastra, perpustakaan umum, kios penyewaan buku-buku cerita, toko-toko buku bacaan, dan lain-lain. Di wilayah nonformal inilah buku-buku sastra anak karya Dwianto Setyawan mengambil posisinya. Karyanya mendampingi buku-buku Inpres yang mengisi rak-rak perpustakaan sekolah pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Identitas Nasional
Bahasa nasional Indonesia, yaitu bahasa Indonesia (Melayu), tumbuh mewujud kuat menjadi identitas nasional seiring dengan Revolusi Industri di sektor mesin cetak. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang menyatakan di poin ketiganya: "Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia", manifes sebagai gerakan politik. Peristiwa ini masih tergolong dalam masa kolonial.
Masa pascakolonial (dibatasi dekade 1970-an dan 1980-an), sektor riil dari Sumpah Pemuda itu adalah kapitalisme cetak yang ditandai tumbuhnya percetakan dan penerbitan buku-buku dengan teks Bahasa Indonesia, baik buku sains, agama, maupun sastra. Buku-buku cetak dalam Bahasa Indonesia inilah yang menemani produk industri cetak media massa lainnya, seperti koran dan majalah. Bahasa Indonesia sebagai identitas nasional jelas menumpang kuat pada buku-buku, koran, dan majalah hasil industri cetak itu. Sebagai penulis buku sastra anak, peran Dwianto Setyawan dalam konteks ini bukan hanya sebagai pembangun kecerdasan intelektual dan emosional anak, tetapi juga memuliakan dan memajukan Bahasa Indonesia sebagai identitas nasional.
Identitas nasional itu, baik secara manifes maupun tersembunyi, akan membawa kesadaran nasional atau nasionalisme Indonesia. Identitas nasional tentu dapat diramu dari hal-hal yang bersifat lokalitas. Penuturan cerita dalam teks Bahasa Indonesia adalah jembatan komunikasi universal bagi seluruh anak bangsa. Buku sastra cetak sebagai salah satu instrumennya. Dwianto Setyawan lewat buku-buku sastra anak karyanya sudah memainkan peran sangat penting di sini.
Lokalitas sebagai bagian dari identitas nasional Indonesia dapat dilihat dari nama-nama tokoh dalam serial novel-novel Dwianto Setyawan. Pada novel Sersan Grung-Grung, ada nama orang dewasa Pak Darpodiroto dan enam orang anak cerdas sebagai tokoh utama: Raka, Martinus, Samsul, Argo, Ninung, dan Linda. Serial novel Kelompok 2 & 1 dibintangi tokoh tiga sahabat sebagai petualang anak, yaitu Irma, Hadian alias Yan, dan Dede. Nama-nama tokoh utama dalam serial novel Sandi adalah Rin Dama (Karina Damayanti), Agung (Agung Nur Wisesa), dan Ilham, yang berusia antara 11-12 tahun. Pilihan nama tokoh-tokoh novel itu erat sekali dengan seting sosial-kultural masyarakat Indonesia. Lalu, teks novel dalam Bahasa Indonesia mengunci nama tokoh dan seting itu menjadi akrab sekali dengan rasa "aku banget" bagi anak-anak Nusantara.
Bandingkan dengan nama-nama tokoh utama dalam serial novel The Famous Five (Lima Sekawan) karya Enid Blyton yang popularitasnya di Indonesia sezaman dengan novel-novel karya Dwianto Setyawan tersebut. Bahkan, film televisi hasil adaptasi dari serial novel The Famous Five ini pun ikut merambah siaran televisi di Indonesia ketika itu. Karakter tokoh-tokoh utama pada The Famous Five (Lima Sekawan) tentulah berdasarkan tipe sosial-kultural anak-anak Eropa dengan nama-nama yang khas pula: George (Georgina) Kirrin, Dick Kirrin, Julian Kirrin, Anne Kirrin, dan seekor anjing Timmy (Timothy). Suasana kebatinan novel ini tentu bisa memengaruhi imajinasi anak-anak Nusantara, tetapi ia dekat di rasa jauh di mata.
Akhirnya, zaman berubah dan Indonesia sudah memasuki Revolusi Industri era digital tipe AI (Artificial Intelligence) yang pelan-pelan mangakhiri gemuruh kapitalisme-cetak menuju kapitalisme ruang digital. Teks tak bisa lagi diraba, tetapi hanya ditatap secara maya. Siapakah novelis Indonesia sekarang yang siap berjuang senyap membangun imajinasi anak-anak lewat sastra digital? Sementara itu, identitas nasional (nasionalisme Indonesia) sedang mengalami disrupsi kencang akibat teks bahasa maya yang amat liar.[]
Surabaya 17 Agustus 2025
Mulyadi J. Amalik, lahir di Tulung Selapan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 10 Oktober 1969. Alumnus Fakultas Filsafat UGM. Ikut komunitas Budaya Nusantara Seni Tradisi Lokal HIPREJS, Jawa Timur. Ikut perkumpulan penulis Satupena Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Bergiat di komunitas seniman Gugum Tapa, Yogyakarta. Kontributor Forum Indonesia Menggambar, Yogyakarta, dan partisan Teater Potlot, Palembang. Menginisiasi buku antologi puisi Syair-syair Pembelaan Pemuda-Petani Karawang (2008). Pameran puisi-drawing di galeri Rumah Seni Muara, Yogyakarta (2004). Pameran puisi Perjuangan Tanah Surat Ijo di Rumah Peneleh, Surabaya (2024). Menulis/membacakan puisi-puisi tafsiran atas lukisan Arik S. Wartono (Balai Pemuda Surabaya, Agustus 2024). Menulis/memamerkan puisi tafsiran atas lukisan Pelabuhan karya Oeta/Sri Wiryanti Budi Utami (Balai Pemuda Surabaya, Desember 2024). Memenangi lomba cipta puisi (sebagai Karya Terbaik) dalam rangka In Memoriam 25 Tahun Romo Y.B. Mangunwijaya, Pr. oleh IKAFITE Yogyakarta (2024). Masuk 20 besar nominasi Lomba Cipta Puisi "Pemilu dan Demokrasi" Bawaslu Kulon Progo, DIY (2025). Menulis esai dalam buku Y.B. Mangunwijaya Demi Manusia dan Bangsa (Editor: St. Sularto & A. Margana, 2025. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama). Menulis 2 judul cerpen anak dalam kumpulan cerpen Cerita Anak Indonesia (Kurator/Editor: Kurnia Effendi & Fanny J. Poyk, 2025. Jakarta: Penerbit Taresia). Antologi puisi: Kuburan Bagi Penyair (Ombak, 2004/tunggal); Komposisi Masyarakat Pasar dan Surat Perintah 21 Mei (Yayasan Aksara Indonesia, 2000/berdua); dan antologi bersama: Teh, Imajinasi, Puisi (2025), Ramadan di Betawi (2025), Swara-swara Anak Pulau (2025), Jurnal Puisi Cinta (2025), Si Binatang Jalang (2025), dll.
___________________________
Alamat surat pos:
Mulyadi J. Amalik.
Jl. R.M.H. Soejono No. 10, RT 02 RW 06, Kelurahan Peneleh,
Kecamatan Genteng, Surabaya 60274, Jawa Timur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI