Mohon tunggu...
Akaha Taufan Aminudin
Akaha Taufan Aminudin Mohon Tunggu... Sastrawan

Koordinator Himpunan Penulis Pengarang Penyair Nusantara HP3N Kota Batu Wisata Sastra Budaya SATUPENA JAWA TIMUR

Selanjutnya

Tutup

Diary

Dwianto Setyawan Tokoh Sastrawan Penting Era Revolusi Industri Cetak Pascakolonial

27 September 2025   10:39 Diperbarui: 27 September 2025   10:39 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo Akaha Taufan Aminudin Koordinator SATUPENA JAWA TIMUR INDONESIA 

DWIANTO SETYAWAN TOKOH SASTRAWAN PENTING ERA REVOLUSI INDUSTRI CETAK PASCAKOLONIALOleh Mulyadi J. Amalik

Pada 1980-an, siapa golongan masyarakat Indonesia yang bisa mengonsumsi bacaan cetak, seperti majalah, buku, atau koran, secara rutin dengan berlangganan? Dapatlah dipastikan golongan masyarakat itu kelas menengah dan kelas atas perkotaan. Namun, kelas menengah dan kelas atas perdesaan yang infrastruktur pemerintahan desanya sudah mapan, terutama pada jalur transportasi dan informasi, pun tak kalah dengan kaum urban. Koran, majalah, dan buku cetak yang sangat gampang dibaca rutin masyarakat menengah dan atas di kota juga menyusup rutin ke jantung masyarakat menengah dan atas di desa.

Indonesia pascakolonial melahirkan sastrawan dan pembaca sastra era cetakan buku, koran, dan majalah dari lapisan masyarakat terbatas di atas. Dwianto Setyawan adalah salah satu sastrawan penulis sastra anak yang lahir di dalamnya. Namun, sastra, sastrawan, dan bahan bacaan sastra cetak adalah tiga hal yang sangat mahal, baik dalam arti finansial maupun kuantitas pembelajar dan sebarannya. Lewat pendidikan yang berpusat di sekolah-sekolah dan juga rumah tangga kaum terdidik, muncul guru-guru dan para pelajar serta anak-anak generasi rumah tangga yang gemar membaca.

Wilayah Indonesia yang luas dengan sebaran penduduk yang terpusat di Pulau Jawa menimbulkan ketimpangan bagi anak-anak di luar Pulau Jawa. Lantaran itu, perkembangan sastra, sastrawan, dan bahan bacaan sastra cetak tak segera melahirkan keunggulan kompetitip di sektor literasi sastra dan kelahiran sastrawan dari anak-anak yang tinggal di pulau-pulau selain Jawa.

Revolusi Industri Cetak
Pascakolonial (ambil contoh pada dekade 1970-an), revolusi industri cetak di Indonesia pada bidang penerbitan buku, majalah, dan koran sudah melampaui fase produksi massal industri yang semula hanya digerakkan oleh listrik. Pada 1980-an, Jawa adalah sentral kekuatan industri cetak massal. Revolusi Industri 3.0 (mulai 1969), yaitu penerapan teknologi informasi dan elektronika dalam sistem otomatik produksi, sudah dimulai dan terhidang dari Pulau Jawa sebagai sentral percetakan dan penerbitan skala industri besar. Pada masa itu, percetakan dan penerbitan Gramedia, sebagai contoh, sudah tumbuh bagai balita gurita raksasa bergizi pascakolonial.

Kekuatan monumental industri cetak itulah yang membentuk dan mendukung kesadaran sastrawi sastrawan Dwianto Setyawan dalam karya-karya sastranya. Ia tumbuh bersama gurita Penerbit Gramedia itu di sektor industri cetak, khususnya bacaan-sastra anak. Spesifikasi bacaan sastra untuk anak oleh Dwianto Setyawan adalah pilihan strategis dan eksklusif. Bila dikaitkan dengan tujuan Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun  II (1 April 1974 hingga 31 Maret 1979) pemerintahan Orde Baru, posisi anak-anak dalam keluarga Indonesia tentu erat dengan pemenuhan kelayakan sandang-pangan dan kesejahteraan rakyat. Apalagi, kemajuan terpesat Repelita II terletak di bidang pendidikan yang tak lepas dari bacaan edukatif untuk anak-anak. Poin sama masih sejalan dengan Repelita III (1 April 1979 hingga 31 Maret 1984) yang menargetkan kecukupan sandang-pangan dan pendidikan yang layak untuk rakyat.

Meskipun proyek Inpres penerbitan ribuan buku bacaan anak masa Orde Baru era 1970-an dan 1980-an dikritik minus penilaian kualitas, gelombang massal industrialisasi buku-cetak ini menjadi celah tersembunyi bagi eksistensi penulis independen Dwianto Setyawan. Katakanlah kurikulum pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah masa itu tak memerioritaskan pelajaran sastra dibanding materi tata bahasa, tetapi ada pendidikan nonformal di tengah masyarakat yang berjalan sinambung. Contohnya adalah sanggar seni sastra, komunitas teater dan sastra, lembaga kursus bahasa yang memuat sastra, ajang rutin lomba baca dan cipta seni sastra, perpustakaan umum, kios penyewaan buku-buku cerita, toko-toko buku bacaan, dan lain-lain. Di wilayah nonformal inilah buku-buku sastra anak karya Dwianto Setyawan mengambil posisinya. Karyanya mendampingi buku-buku Inpres yang mengisi rak-rak perpustakaan sekolah pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Identitas Nasional
Bahasa nasional Indonesia, yaitu bahasa Indonesia (Melayu), tumbuh mewujud kuat menjadi identitas nasional seiring dengan Revolusi Industri di sektor mesin cetak. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang menyatakan di poin ketiganya: "Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia", manifes sebagai gerakan politik. Peristiwa ini masih tergolong dalam masa kolonial.

Masa pascakolonial (dibatasi dekade 1970-an dan 1980-an), sektor riil dari Sumpah Pemuda itu adalah kapitalisme cetak yang ditandai tumbuhnya percetakan dan penerbitan buku-buku dengan teks Bahasa Indonesia, baik buku sains, agama, maupun sastra. Buku-buku cetak dalam Bahasa Indonesia inilah yang menemani produk industri cetak media massa lainnya, seperti koran dan majalah. Bahasa Indonesia sebagai identitas nasional jelas menumpang kuat pada buku-buku, koran, dan majalah hasil industri cetak itu. Sebagai penulis buku sastra anak, peran Dwianto Setyawan dalam konteks ini bukan hanya sebagai pembangun kecerdasan intelektual dan emosional anak, tetapi juga memuliakan dan memajukan Bahasa Indonesia sebagai identitas nasional.

Identitas nasional itu, baik secara manifes maupun tersembunyi, akan membawa kesadaran nasional atau nasionalisme Indonesia. Identitas nasional tentu dapat diramu dari hal-hal yang bersifat lokalitas. Penuturan cerita dalam teks Bahasa Indonesia adalah jembatan komunikasi universal bagi seluruh anak bangsa. Buku sastra cetak sebagai salah satu instrumennya. Dwianto Setyawan lewat buku-buku sastra anak karyanya sudah memainkan peran sangat penting di sini.

Lokalitas sebagai bagian dari identitas nasional Indonesia dapat dilihat dari nama-nama tokoh dalam serial novel-novel Dwianto Setyawan. Pada novel Sersan Grung-Grung, ada nama orang dewasa Pak Darpodiroto dan enam orang anak cerdas sebagai tokoh utama: Raka, Martinus, Samsul, Argo, Ninung, dan Linda. Serial novel Kelompok 2 & 1 dibintangi tokoh tiga sahabat sebagai petualang anak, yaitu Irma, Hadian alias Yan, dan Dede. Nama-nama tokoh utama dalam serial novel Sandi adalah Rin Dama (Karina Damayanti), Agung (Agung Nur Wisesa), dan Ilham, yang berusia antara 11-12 tahun. Pilihan nama tokoh-tokoh novel itu erat sekali dengan seting sosial-kultural masyarakat Indonesia. Lalu, teks novel dalam Bahasa Indonesia mengunci nama tokoh dan seting itu menjadi akrab sekali dengan rasa "aku banget" bagi anak-anak Nusantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun