Konvensi Montevideo tahun 1933 memberi definisi klasik tentang apa itu negara: harus ada populasi permanen, wilayah jelas, pemerintahan efektif, dan kemampuan menjalin hubungan internasional.
Palestina memenuhi sebagian syarat: ia memiliki lebih dari 5 juta penduduk, misi diplomatik di banyak negara, bahkan status pengamat tetap di PBB.
Tetapi kelemahan fundamentalnya jelas: Palestina tidak memiliki wilayah yang sepenuhnya diakui.
Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur masih terfragmentasi, dengan kontrol sebagian besar dipegang Israel.
Palestina tak memiliki perbatasan mandiri, bandara, pelabuhan laut bebas, bahkan ibukota resmi.
Dalam istilah puitis: Palestina adalah "negara tanpa tanah"---suara yang ada di dunia, tapi tubuhnya masih tercerai-berai.
-000-
2. Dimensi Politik: Â Israel dan Veto Amerika
Israel secara konsisten menolak gagasan dua negara. Sekutunya yang paling kuat, Amerika Serikat, juga sering kali menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB untuk menggagalkan pengakuan penuh Palestina.
Lebih dari 150 negara memang sudah mengakui Palestina secara bilateral. Tetapi pengakuan itu belum cukup. Untuk menjadi anggota penuh PBB, Palestina harus melewati Dewan Keamanan. Dan di sana, satu veto dari AS saja sudah cukup untuk menutup pintu.
Inilah paradoks: legitimasi moral dari mayoritas dunia belum otomatis menjelma menjadi legitimasi hukum internasional.