"Jual Dirimu Sebelum Jual Ide": Refleksi dari Daniel Maryanto Tentang Menulis dan Bertahan Hidup Lewat Kata MengEMASkan Indonesia.
Oleh : Akaha Taufan Aminudin
Pegadaian MengEMASkan Indonesia Dalam era di mana konten melimpah dan perhatian pembaca semakin terbagi, kisah inspiratif penulis kawakan Daniel Maryanto layak menjadi cermin dan motivasi bagi para penulis pemula dan bahkan amatir yang ingin menancapkan kaki di dunia literasi.
Dari sebuah kondisi "kepepet" dan perjuangan hidup berawal dari perut lapar hingga menjadi spesialis di bidang sejarah dan arkeologi, beliau mengungkapkan filosofi mendalam bagaimana "menjual diri" jauh sebelum menjual karya. Artikel ini menyelami perjalanan kreatifnya dan memberikan poin reflektif yang dapat menuntun para penulis untuk menemukan pijakan kuat dalam berkarya.
Menulis adalah sebuah perjuangan hidup yang tak hanya soal mengukir kalimat indah atau ide liar, melainkan juga soal keteguhan agar karya kita bisa dibaca, diapresiasi, dan yang paling penting, "dijual." Pada suatu malam yang penuh kehangatan dalam sebuah diskusi komunitas kepenulisan, Pak Daniel Maryanto membuka cerita tentang bagaimana ia "menjual diri" sebelum "menjual ide" dan karyanya. Kali ini, kita sebagai pembaca diajak tidak hanya memahami proses kreatifnya, namun juga filosofi eksistensial di balik profesi penulis.
Dari Perut Lapar Menjadi Pena Tajam
Mulai tahun 1986, ketika kuliah di Fakultas Sastra jurusan Arkeologi UGM, Daniel dihadapkan pada masalah klasik sekaligus universal: bagaimana bertahan hidup saat sumber daya terbatas? Ayahnya yang seorang guru mulai kesulitan membiayai hidup dan kuliahnya karena ada adik yang juga membutuhkan perhatian finansial. Kondisi "kepepet" ini justru menjadi "pupuk kreatifitas," mendorongnya membaca koran setiap hari di perpustakaan dan menyadari ada peluang untuk menulis artikel opini atau sajian santai berdasarkan kuliah arkeologi yang ia geluti.
Disinilah langkah pertamanya dijalani dengan penuh keberanian---mengantarkan naskah tulisan langsung ke redaksi koran tanpa pakai perangko! Hasilnya? Tulisan tentang Angkatan Bersenjata Mataran langsung dimuat. Dari situlah reputasi sebagai penulis spesialis sejarah dan arkeologi mulai terbentuk, membawa mata pencaharian yang stabil dari menulis.
Apa yang bisa kita pelajari dari sini? Bahwa keterbatasan seringkali menghasilkan kreativitas dan bahwa menulis harus mulai dari apa yang kita tahu paling dalam, bukan sekadar menulis acak demi mencari pembaca.
Menjual Diri Sebelum Menjual Ide
Pak Daniel menegaskan bahwa menjadi "spesialis" itu penting. "Kamu bisa menulis tentang banyak hal, tapi kalau kamu bisa menjadi yang terbaik di satu bidang, maka kamu akan lebih mudah dikenal dan dicari." Ini bukan saja soal keahlian, tetapi juga personal branding yang strategis. Bila dunia kedokteran memiliki tarif lebih tinggi bagi dokter spesialis, mengapa penulis harus berbeda?