Mohon tunggu...
Rahmad Agus Koto
Rahmad Agus Koto Mohon Tunggu... Generalist

Aku? Aku gak mau bilang aku bukan siapa siapa. Terlalu klise. Mungkin tidak signifikan, namun melalui niat baik, doa dan usaha, aku selalu meyakini bahwa aku selalunya memberikan pengaruh yang baik bagi lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimanapun aku berada.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bekal Utama Menghadapi Abad 21: Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Sosial

26 September 2025   07:15 Diperbarui: 26 September 2025   07:15 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di ruang kelas itu, suasana selalu sama setiap kali ujian selesai. Arka akan maju ke depan, menerima kertas jawabannya dengan nilai nyaris sempurna. Anak-anak bertepuk tangan setengah iri, guru tersenyum bangga, dan pujian pun berulang-ulang dilontarkan. Tapi semua berubah waktu Arka diminta presentasi. Baru dua menit bicara, suaranya serak, tangannya gemetar, matanya menyiratkan kebingungan. Ia berhenti, menunduk, lalu buru-buru kembali duduk. Nilainya tetap tinggi, tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa kalah.

Di kelas yang sama ada Rani. Nilainya biasa saja, tak pernah jadi juara kelas. Namun kalau ada teman ribut soal hal sepele, Rani yang maju menenangkan. Kalau ada yang panik menjelang ujian, dia yang menyalakan semangat. Ia tidak pernah masuk ranking lima besar, tapi entah kenapa semua orang merasa lebih tenang kalau ada dia. Dari situ muncul pertanyaan yang lebih besar, siapa yang sebenarnya lebih siap menghadapi hidup di abad 21?

Hari ini, murid tidak lagi hanya bersaing dengan teman sebangkunya. Mereka bersaing dengan algoritma, dengan robot, dengan perubahan yang relatif sangat cepat dan unstoppable. Pekerjaan yang digadang-gadang hari ini bisa hilang dalam hitungan beberapa tahun. Dunia bergerak terlalu cepat untuk sekadar mengandalkan nilai ujian. Di tengah pusaran itu, yang menentukan bukan sekadar kepintaran otak, tapi juga kemampuan mengelola hati. Murid yang tahan banting saat gagal, yang bisa mendengarkan orang lain, yang berani bekerja sama dengan orang berbeda budaya, mereka lah yang akan bertahan.

Ilmu psikologi modern sudah lama menyebutnya sebagai kecerdasan emosi. Konsep ini menekankan empat hal: mengenali emosi diri sendiri, mengelolanya, membaca emosi orang lain, dan membangun relasi yang sehat. Otak manusia punya peran berbeda dalam proses itu. Amigdala, sepasang struktur kecil di kedalaman otak yang berbentuk kacang almond, yang bertugas memicu reaksi cepat ketika kita cemas, takut, atau terancam. Sedangkan korteks prefrontal, yang letaknya di tepat di balik dahi, berfungsi sebagai "rem" untuk menenangkan amigdala. Murid yang cerdas secara emosi bukan berarti tidak pernah panik atau marah, tapi tahu bagaimana menenangkan dirinya sebelum emosi itu merusak.

Psikolog Daniel Goleman dalam bukunya, "Emotional Intelligence" memaparkan bahwa IQ hanya menyumbang sekitar 20 persen bagi keberhasilan seseorang, sementara sisanya ditentukan oleh faktor lain, terutama kecerdasan emosi. Data ini memang sudah sering dikutip, tapi relevansinya tidak pernah pudar. Dunia kerja dan kehidupan sosial berulang kali membuktikan, orang yang bisa membaca hati jauh lebih unggul daripada sekadar yang pandai berhitung. Dalam bukunya yang lain, "Social Intelligence", Goleman juga menjelaskan bagaimana otak manusia sebenarnya dirancang untuk saling terhubung. Setiap kali kita bertatap muka, sistem saraf bekerja layaknya cermin: ekspresi dan emosi orang lain bisa memicu respons serupa di dalam diri kita. Itulah sebabnya seorang murid yang gelisah bisa membuat seisi kelas ikut tegang, dan sebaliknya, murid yang tenang bisa menularkan rasa aman ke teman-temannya. Pendidikan bermutu berarti menyadari dinamika ini, lalu mengajarkan murid untuk menjadi pusat energi positif di lingkungannya.

Kalau bicara pendidikan bermutu, biasanya kita langsung membayangkan gedung yang bagus, guru profesional, kurikulum modern. Semua itu memang penting, tapi ada satu hal yang biasanya terabaikan, ruang untuk tumbuh sebagai manusia seutuhnya. Pendidikan bermutu bukan hanya menghasilkan murid cerdas otak, tetapi juga cerdas hati. 

Ada beberapa hal sederhana yang bisa dilakukan sekolah untuk menumbuhkan hal itu. 

Pertama, memberi ruang untuk gagal. Murid tidak boleh hanya diajarkan untuk menang, tapi juga untuk gagal. Gagal tanpa ditegur, gagal tanpa ditertawakan. Dari kegagalan, mereka belajar resilien. Dunia startup sudah lama punya prinsip "fail fast, learn faster", dan sekolah seharusnya berani mengadopsi semangat yang sama. 

Kedua, project-based learning dengan refleksi emosi. Saat murid bekerja dalam kelompok, biarkan mereka mengalami konflik kecil, lalu ajak mereka merefleksi: apa yang mereka rasakan, bagaimana mereka menyelesaikannya. Dari situ mereka belajar bahwa perbedaan bukan penghalang, melainkan kesempatan untuk tumbuh. 

Ketiga, latihan empati sehari-hari. Guru bisa mengajak murid menceritakan pengalaman pribadi, atau bergiliran menjadi pendengar aktif. Kecil, tapi efeknya besar: murid belajar bahwa setiap orang punya cerita dan layak dipahami. 

Keempat, mindfulness di kelas. Beberapa menit keheningan sebelum pelajaran dimulai, misalnya dengan teknik pernapasan sederhana, bisa melatih murid untuk mengenali emosinya sendiri, dan atau mengisinya dengan berdoa. Terlihat sepele, tapi inilah modal agar mereka tidak mudah panik menghadapi tekanan.

Ada sekolah yang meminta murid menulis jurnal emosi mingguan. Isinya sederhana, apa yang mereka rasakan minggu ini. Guru lalu membacanya diam-diam, bukan untuk menilai, tapi untuk memahami. Hasilnya mengejutkan. Murid jadi lebih terbuka, suasana kelas lebih sehat, kasus perundungan (bully) berkurang drastis. Di sekolah lain, guru meminta murid melakukan roleplay, ada yang berperan sebagai pedagang kecil, ada yang jadi orang tua tunggal, ada yang jadi pekerja migran. Tujuannya sederhana, merasakan hidup dari sudut pandang lain. Murid yang awalnya cuek mulai belajar empati. Itu semua contoh bahwa pendidikan bermutu bukan sekadar soal materi pelajaran, tapi bagaimana sekolah memberi ruang untuk belajar mengelola emosi.

Kita tahu dunia yang akan dihadapi para murid beneran tidak mudah. Tekanan ekonomi, perubahan teknologi, krisis global, semuanya menunggu di depan. Kalau yang kita bekalkan hanya deretan rumus, mereka mungkin bisa mengerjakan soal, tapi tidak otomatis bisa bertahan hidup. Yang akan membuat mereka siap menghadapi abad 21 adalah kecerdasan emosi: keberanian bangkit dari gagal, kemampuan mendengar, keberanian berempati, dan ketenangan di tengah badai kehidupan yang acapkali datang secara tiba-tiba.

Arka dengan nilai sempurna mungkin akan selalu diingat sebagai murid jenius, tapi wajah pucatnya di depan kelas adalah pengingat bahwa otak saja tidak cukup. Rani, dengan semua keterbatasan nilainya, justru memberi rasa aman bagi orang lain. Bayangkan kalau pendidikan bermutu bisa melahirkan generasi yang memiliki keduanya, otak yang cerdas sekaligus hati yang peka. Itulah arti sejati Pendidikan Bermutu. Itulah cara kita menyiapkan murid agar benar-benar Siap Hadapi Tantangan Abad 21.

(Ajuskoto)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun