Ada sekolah yang meminta murid menulis jurnal emosi mingguan. Isinya sederhana, apa yang mereka rasakan minggu ini. Guru lalu membacanya diam-diam, bukan untuk menilai, tapi untuk memahami. Hasilnya mengejutkan. Murid jadi lebih terbuka, suasana kelas lebih sehat, kasus perundungan (bully) berkurang drastis. Di sekolah lain, guru meminta murid melakukan roleplay, ada yang berperan sebagai pedagang kecil, ada yang jadi orang tua tunggal, ada yang jadi pekerja migran. Tujuannya sederhana, merasakan hidup dari sudut pandang lain. Murid yang awalnya cuek mulai belajar empati. Itu semua contoh bahwa pendidikan bermutu bukan sekadar soal materi pelajaran, tapi bagaimana sekolah memberi ruang untuk belajar mengelola emosi.
Kita tahu dunia yang akan dihadapi para murid beneran tidak mudah. Tekanan ekonomi, perubahan teknologi, krisis global, semuanya menunggu di depan. Kalau yang kita bekalkan hanya deretan rumus, mereka mungkin bisa mengerjakan soal, tapi tidak otomatis bisa bertahan hidup. Yang akan membuat mereka siap menghadapi abad 21 adalah kecerdasan emosi: keberanian bangkit dari gagal, kemampuan mendengar, keberanian berempati, dan ketenangan di tengah badai kehidupan yang acapkali datang secara tiba-tiba.
Arka dengan nilai sempurna mungkin akan selalu diingat sebagai murid jenius, tapi wajah pucatnya di depan kelas adalah pengingat bahwa otak saja tidak cukup. Rani, dengan semua keterbatasan nilainya, justru memberi rasa aman bagi orang lain. Bayangkan kalau pendidikan bermutu bisa melahirkan generasi yang memiliki keduanya, otak yang cerdas sekaligus hati yang peka. Itulah arti sejati Pendidikan Bermutu. Itulah cara kita menyiapkan murid agar benar-benar Siap Hadapi Tantangan Abad 21.
(Ajuskoto)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI