Berapa banyak rumah tangga runtuh, rakyat bentrok dengan pemerintah, bahkan antar negara saling bunuh, hanya karena satu hal yang kedengarannya sepele: komunikasi yang buruk. Kata-kata yang salah arah bisa lebih mematikan dari peluru, karena ia merusak kepercayaan sebelum senjata terangkat.
Sekitar dua puluh tahun lalu, saya membaca buku Gerry Spence, How to Argue and Win Every Time koleksi perpustakaan Universitas Sumatera Utara. Satu dari sekian banyak buku yang sangat mengesankan. Judulnya terdengar seperti manual tukang debat. Namun setelah kutamatkan, justru isinya tentang seni bicara dengan logika yang jernih, simpati, dan empati. Spence percaya: bila manusia mampu berbicara dengan jujur dan mendengar dengan tulus, banyak konflik bisa diredam, bisa dihindari.
Secara faktanya, begitu banyak perceraian terjadi bukan karena masalah besar, melainkan karena kalimat yang kasar. Begitu banyak rakyat marah bukan hanya karena kebijakan, tetapi karena bahasa pemerintah terasa dingin dan jauh. Sejarah mencatat perang antarnegara yang meletus akibat ego yang menolak mundur satu kata. Dunia sering runtuh bukan karena isi masalahnya, melainkan karena cara menyampaikannya.
Baru-baru ini, dunia diguncang oleh penembakan terhadap seorang politisi di Amerika. Pemicu utamanya bukan sekadar perbedaan pandangan politik, melainkan polarisasi komunikasi yang semakin ekstrem. Bahasa yang seharusnya jadi alat merangkul berubah jadi alat menyingkirkan. Narasi kebencian yang terus dipelihara akhirnya menyalakan api kebencian di jalanan.
Hal serupa terjadi di Indonesia pada gelombang demo besar Agustus 2025 kemarin. Massa turun ke jalan dengan amarah yang membuncah, sementara pemerintah menanggapi dengan bahasa yang defensif dan terkesan kaku. Bukannya mencair, situasi justru mengeras. Kata-kata dari atas podium tidak lagi terdengar sebagai ajakan dialog, melainkan perintah yang menutup ruang dengar. Hasilnya: jurang ketidakpercayaan makin lebar, benturan tak terhindarkan, dan gas air mata pun bicara menggantikan bahasa.
Ilmu komunikasi modern menjelaskan fenomena ini dengan sederhana. Menurut teori komunikasi empatik, pesan yang diterima audiens tidak hanya diukur dari isi logisnya, tetapi juga dari nada emosional dan konteks hubungan. Otak manusia, lewat peran amigdala, sangat cepat merespons nada ancaman dalam bahasa. Kalimat yang salah bisa memicu mekanisme "fight or flight," membuat orang melawan atau kabur, alih-alih berdialog. Inilah mengapa komunikasi yang buruk sering berujung pada kekerasan.
Spence menekankan bahwa inti argumentasi sejati bukanlah "mengalahkan lawan," melainkan membangun koneksi dengan lawan bicara. Logika tanpa empati hanyalah pisau tajam, sementara logika yang dibungkus simpati bisa menjadi jembatan. Kata-kata bisa meruntuhkan, tapi juga bisa merawat.
Pelajaran itu tampak sederhana, bahkan klise. Namun praktiknya, justru inilah yang paling sering diabaikan. Orang lebih cepat meninggikan suara daripada membuka telinga. Lebih mudah menghakimi daripada mencoba memahami. Padahal, pilihan kata yang tepat bisa mencegah luka, menyelamatkan hubungan, bahkan mengubah arah sejarah.
Sejumlah penelitian dalam psikologi sosial juga mendukung hal ini. Konflik antarindividu lebih sering dipicu oleh kegagalan komunikasi daripada perbedaan nilai yang mendasar. Bahkan dalam skala politik, riset menunjukkan bahwa framing bahasa, apakah sesuatu disampaikan sebagai ancaman atau peluang, sangat memengaruhi apakah publik akan menolak atau menerima kebijakan. Artinya, komunikasi bukan sekadar penyampai ide, tetapi pembentuk realitas sosial.
Sayangnya, Sapiens masih sering mengabaikan pelajaran ini. Dari meja makan rumah tangga, ruang parlemen, hingga panggung politik internasional, pola yang sama berulang: konflik membesar ketika komunikasi gagal. Kita sering memilih kata-kata yang menutup, bukan membuka.