Mohon tunggu...
Rahmad Agus Koto
Rahmad Agus Koto Mohon Tunggu... Generalist

Aku? Aku gak mau bilang aku bukan siapa siapa. Terlalu klise. Tidak besar memang, melalui niat dan usaha, aku selalu meyakini bahwa aku selalunya memberikan pengaruh yang baik bagi lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimanapun aku berada.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Krisis Emosional Kita

5 September 2025   05:52 Diperbarui: 5 September 2025   05:52 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi krisis emosional (Gemini AI)

Ribuan tahun yang lalu, sekelompok pemburu-pengumpul duduk di sekitar api unggun. Suasana hening, sesekali ditemani suara-suara serangga malam. Tiba-tiba terdengar suara derak ranting patah di semak belukar. Seketika tubuh mereka siaga: jantung berdegup, otot menegang, mata menyorot tajam. Namun begitu mengetahui bahwa ancaman itu ternyata hanyalah seekor rusa yang sedang lewat, rasa cemas pun surut. Mereka tertawa lega, melanjutkan cerita, dan kembali merasa aman.


Begitulah cara sistem stres bekerja pada manusia purba. Ancaman datang sebentar, tubuh merespons cepat, lalu kembali normal. Emosi hadir sebagai alarm darurat yang menyelamatkan hidup. Stres, dengan cara itu, adalah kawan baik.


Ribuan tahun kemudian, manusia modern menghadapi ancaman yang sama sekali berbeda. Kita tidak lagi diancam oleh kehidupan alam liar yang buas. Kini, kita dikejar notifikasi smartphone, dihantui cicilan tagihan, ditekan target pekerjaan, dan dicemaskan oleh berita-berita sosial-ekonomi-politik yang dipenuhi berbagai ketegangan. Tubuh kita masih bereaksi seakan-akan bahaya itu bersifat fisik, padahal ancamannya abstrak. Alarm emosional menyala terus, tetapi tidak pernah benar-benar padam.


Ada lima alasan mengapa kondisi ini terasa jauh lebih berat daripada masa lalu.


Lingkungan hidup yang berubah drastis. Dahulu, stres hadir dalam bentuk ancaman episodik dan konkret. Kini, stres hadir dalam bentuk yang sangat halus namun kronis.


Mismatch evolusi. Amigdala, bagian otak yang tugas utamanya mengatur pengelolaan emosi, masih diprogram untuk bahaya fisik yang jelas, sementara manusia modern diancam dari sisi yang abstrak, sosial-ekonomi-politik. Alarm di otakpun sering berbunyi salah tempat, salah waktu, ibarat software lama dipaksa menjalankan aplikasi modern.


Tipisnya ikatan sosial. Komunitas kecil pemburu-pengumpul memberi rasa saling memiliki, kebersamaan, dan dukungan emosional. Kehidupan modern malah sering membuat orang terisolasi, kesepian, yang diperparah oleh keberadaan medsos, padahal ikatan sosial yang nyata (offline) adalah obat stres paling mujarab.


Overload informasi. Jika dulu informasi terbatas pada kebutuhan dasar, sekarang otak dibanjiri berita-berita yang didominasi oleh berita negatif (bad news is good news), gosip, iklan, dan drama media sosial. Kapasitas mental kita tidak didesain untuk banjir informasi semacam itu.


Kurang outlet fisik. Dulu, stres dibuang lewat aktivitas: berburu, berlari, mendaki. Kini, tubuh hanya duduk berjam-jam di balik meja, di balik mesin-mesin. Energi stres yang terpendam menjelma menjadi penyakit, menjadi bom waktu ledakan emosional.


Kegagalan pendidikan emosi. Semua ini diperparah oleh minimnya pendidikan emosi dalam kehidupan sehari-hari. Agama, sekolah, pemerintah dan keluarga, seharusnya bisa menjadi andalan utama. Namun dalam praktiknya, banyak yang meleset. Agama, misalnya, pada dasarnya menyimpan nilai-nilai luhur untuk menata batin---dari kesabaran, pengendalian amarah, hingga empati. Tentu bukan ajarannya yang salah, yang sering luput adalah bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan dalam praktek kehidupan harian. Banyak umat sibuk pada ritual atau hafalan dogma, tapi jarang mempraktikkan pengelolaan emosi secara konkret: bagaimana menenangkan diri saat marah, bagaimana berdamai dengan rasa iri, bagaimana mengelola rasa takut, rasa cemas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun