Mohon tunggu...
Ajrun Azhim Al
Ajrun Azhim Al Mohon Tunggu... Lainnya - Saya mengambil jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam

Saya mempunya kegemaran dibidang literasi dan penelitian. Saya sering mengikuti perlombaan dibidang LKTI dan Debat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Mutiara

8 Desember 2020   17:10 Diperbarui: 8 Desember 2020   17:27 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Turun-turun....! jangan berdiri di sana... itu berbahaya”

“Ayo turunlah, nak.. kasihan bapak ibumu yang bekerja keras banting tulang untuk menyekolahkan kamu...” nada penuh kecemasan.

“Tidak, tidak.. Aku tidak akan turu, lebih baik aku bunuh diri saja. Dunia akan lebih menerimanya, daripada aku berdiri di atasnya” tandasnya.
“ Jangan lakukan itu, kami minta maaf, kami sering menghinamu, mencacimu, dan mengolokmu” suara muncul dari arah samping kanan gedung.
“ Ucapkan dengan tulus, cepat!” tanggap bapak guru

“ Saya mohon maaf, sungguh. Saya tidak akan mengulanginya lagi, ayo turun” tambah anak berbadan besar itu.
“ Temanmu sudah minta maaf kepadamu, cobalah buka mata hatimu!” nasehat bapak guru.
“ Kamu anak yang istimewa, tidak ada anak yang sepertimu di dunia ini, kamu dianggap aneh, bodoh, dan semacamnya oleh teman-temanmu, tapi tidak denganku. Aku tahu setiap orang pasti punya kekurangan dan kehebatannya sendiri.” ucapan lembut ibu guru).
“ Tapi bu”
“ Tapi apa?”
“ Saya tidak,”

“ Tidak apa?, tidak bisa!, tidak cakap! atau tidak mampu. Memang sekarang kamu merasa lemah dan berbeda dengan yang lain. Tapi, ingat suatu saat kamu akan menjadi lentera di dalam gelapnya malam.”

Kata-kata yang diucapkan semua orang yang melihat kejadian itu masih terngiang di kedua telinga. Salah seorang guru yang mengajar pelajaran IPA itu memang sangat perhatian, kasih sayang, dan peduli dengan siapapun termasuk anak ini. 

Setiap kesusahan dan kesulitan yang dialaminya dalam memahami mapel yang guru tersebut ampu pasti dia langsung bertanya tanpa ada rasa malu dan sungkan sedikit pun. Semua peristiwa yang dia rasakan/keluhkan pasti dia bercerita terang-terangan. Dia menganggap ibu guru sebagai orang tua kandungnya.

Meskipun sudah 7 bulan yang lalu, tetap saja kejadian itu masih membuat gempar sekolah, lingkungan sekitar, dan juga kota sampai sekarang.

Sandi adalah anak yang memiliki postur yang pendek, kurus, hitam, dekil, serta wajah seperti orang yang tidak bisa apa-apa. Setiap hari kawan-kawanya selalu menghina, mengolok, dan mengatainya anak bodoh. Kata-kata yang pedas, kejam, dan bengis selalu di lontarkan semua orang pada dirinya. Sandi sampai hafal dengan semua julukan jelek untuk dirinya. 

Membalas? Atau melawan? Dia tidak mampu untuk melakukan itu semua. Hanya mulut terkunci rapat dan berdo’a yang bisa dijangkau oleh raga dan batinnya. Dia selalu memanjatkan do’a kepada sang Ilahi Rabbi agar dihentikan semua ini. Setiap manusia memiliki tingkat kesabaran yang berbeda.

Hal ini yang dialami Sandi, ia merasa Allah ingin menguji tingkat kesabaranya, tingkat ketakwaanya, dan tingkat kepatuhanya. Tapi susah. Dia merasa dunia ini sudah terlalu menenggelamkannya ke inti bumi. Ditambah lagi dia jauh dari orang tua, sanak keluarga, tetangga dekat lengkaplah semua penderitaanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun