Mohon tunggu...
ajril sabillah
ajril sabillah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpi Anak Petani

26 Juni 2025   09:31 Diperbarui: 26 Juni 2025   09:31 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Petani (Sumber Foto: Sebariskata.com) 

Ayah akhirnya menggadaikan sepeda motornya. Tama pun berangkat ke kota, menumpang tinggal di rumah Paklik. Ia sekolah pagi, bekerja sore di bengkel las, dan mengerjakan tugas hingga larut malam. Tak ada waktu untuk bermain. Tapi ia tak pernah mengeluh. Ia tahu, setiap lelah adalah batu bata yang membangun jembatan menuju mimpinya.

Tiga tahun berlalu. Tama lulus dengan nilai terbaik dan diterima di universitas negeri dengan jurusan arsitektur. Ia menang lomba desain sekolah ramah anak tingkat provinsi, dan mendapat beasiswa penuh dari pemerintah daerah. Saat ia pulang membawa kabar itu, Ayah menangis di beranda rumah. Tangannya menggenggam surat penerimaan dengan jemari kasar, penuh kapalan.

"Kamu sudah buktikan, Tam. Anak petani pun bisa bermimpi tinggi."

Selama kuliah, Tama menjadi asisten dosen dan aktif di komunitas desain sosial. Ia mengajar anak-anak desa menggambar bangunan, membangun taman baca dari limbah kayu, dan mendesain rumah tahan gempa untuk daerah rawan bencana. Ia tak hanya mengejar gelar, tapi juga memberikan makna pada setiap ilmu yang ia serap.

Hingga akhirnya, setelah bertahun-tahun perjuangan, Tama lulus dengan predikat cumlaude. Ia pulang ke desanya bukan dengan jas mewah, tapi membawa maket sekolah impian yang ia desain sendiri.

Ia berdiri di lahan kosong bekas sekolah tua yang pernah roboh dulu, memperlihatkan gambar bangunan baru kepada warga. Sekolah itu akan memiliki ruang kelas yang luas, dinding tahan air, sirkulasi udara yang baik, dan ruang baca yang nyaman.

"Sekolah ini, bukan untuk saya," katanya dalam sambutan kecil di musala desa, "Tapi untuk adik-adik saya, dan semua anak petani seperti saya. Supaya mereka tahu, bahwa mimpi bisa dimulai dari lumpur sawah, asal tak pernah menyerah."

Kini, bertahun-tahun telah berlalu. Tama dikenal sebagai arsitek desa, yang telah membangun puluhan sekolah dan rumah tahan banjir di berbagai daerah. Tapi ia tetap tinggal di desa kecil itu, di rumah panggung sederhana berdinding kayu. Setiap pagi, ia duduk di beranda, melihat anak-anak berseragam putih biru masuk ke sekolah barunya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun