Di sebuah desa yang tenang, diapit bukit dan hamparan sawah luas yang menguning saat panen tiba, tinggal seorang anak lelaki bernama Tama. Ia anak sulung dari tiga bersaudara, dan ayahnya adalah seorang petani sederhana yang setiap pagi berangkat ke sawah membawa cangkul, topi caping, dan semangat yang tak pernah luntur.
Sejak kecil, Tama tak pernah asing dengan lumpur. Ia tumbuh dengan aroma jerami dan suara serangga sawah sebagai nyanyian pengantar tidur. Tapi jauh di dalam dadanya, ada satu hal yang tak bisa dibajak oleh waktu atau keadaan---cita-citanya menjadi seorang arsitek. Bukan karena ia melihat bangunan megah atau pernah masuk gedung bertingkat, tapi karena suatu hari ia melihat sekolah desa mereka yang reyot ambruk setelah hujan deras. Ia berdiri mematung, memandangi papan tulis pecah, atap seng menganga, dan tumpukan meja rusak.
"Sekolah itu seperti rumah kami, Tam," kata Ayah suatu malam sambil menyeruput kopi. "Harus kuat, supaya anak-anak desa bisa belajar tenang."
Sejak hari itu, Tama kecil menggambar rumah dan gedung dalam bukunya. Ia mencoret-coret bentuk sederhana bangunan dengan pensil pinjaman dari gurunya. Kadang ia menggambar di tanah, atau papan kayu dengan arang dari tungku. Semua itu karena satu hal: ia ingin membangun sekolah yang tak akan roboh lagi.
Tapi mimpi itu bukan tanpa tantangan.
Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Tama harus membantu Ayah menyiram kebun dan memberi makan kambing. Sepulang sekolah, ia mencari rumput atau menjemur padi. Ia belajar malam hari dengan cahaya lampu minyak, karena listrik sering mati. Ketika teman-temannya bermain, Tama duduk di depan rak buku sekolah yang sudah usang, membaca majalah arsitektur lama pemberian Bu Tini, guru favoritnya.
"Tama, kamu tahu apa itu blueprint?" tanya Bu Tini suatu hari.
"Gambaran rencana bangunan, Bu. Yang seperti peta tapi untuk rumah."
Bu Tini tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia tahu anak itu bukan hanya cerdas, tapi punya api dalam dadanya. Sejak saat itu, Bu Tini sering meminjamkan buku-buku tua miliknya dan membantu Tama memahami istilah teknik bangunan. Tama belajar tanpa lelah, mencatat, menggambar, dan bermimpi.
Saat SMP tamat, Tama diterima di SMK Bangunan di kota kecil terdekat. Tapi masalah datang: biaya. Ayahnya terdiam saat membaca brosur pendaftaran. Ibu mulai menghitung hasil panen yang tak seberapa. Namun Tama tak menangis. Ia hanya berkata, "Tama bisa kerja sambil sekolah, Yah."