Mohon tunggu...
Dayangsumbi
Dayangsumbi Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Musik, Filosofi

Blogger Writer and Amateur Analys, S.Komedi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memandang Terorisme dan Ketidakbermaknaan hidup dari Sudut Pandang Eksistensialisme

7 April 2021   05:32 Diperbarui: 13 Maret 2022   15:46 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Freepic/Pexels

Ketidakbermaknaan hidup seperti kekosongan pikiran dan hati merupakan celah bagi teroris menurut Prof. Irfan Idris, Kekosongan makna hidup itu yang bakal diisi oleh para “Brainwasher” untuk mendoktrin anak-anak muda menjadi teroris. Menurut Sofyan Tsauri seorang NAPITER, biasanya para Brainwasher merekrut anak-anak muda yang berpaham intoleran kemudian disiapkan untuk menjadi seorang attacker.

Sikap Toleran menurut Prof. Bambang Sugiharto yaitu ada dua, Toleransi Pasif dan Toleransi Aktif, Toleransi Pasif sering kita jumpai dalam masyarakat kita seperti sikap masa bodo atau menurut dia yaitu cuekisme, sikap toleransi hanya untuk tidak saling menggangu, dan sikap toleransi yang dimana ada rasa superioritas terselubung seperti “biarkan dia seperti itu kita yang benar jangan seperti itu”, ada pula sikap toleransi yang merupakan strategi persuasif contohnya “biarkan ia melakukan hal konyol seperti itu namanya juga anak muda biarkan ia mengalaminya dulu, suatu saat nanti ia akan mengetahui yang sebenarnya. Menurutnya hal-hal ini merupakan sikap toleransi yang pasif atau dangkal.

Toleransi yang dibutuhkan sekarang ini merupakan toleransi mendalam atau aktif, ia mendapat inspirasi dari Nietzsche yaitu toleransi yang mengandung keberanian untuk mengoreksi timbal balik bahwa berhadapan dengan pihak-pihak yang berbeda, kita didorong untuk memikirkan kembali sesuatu yang kita yakini. Begitu juga sebaliknya, sesuatu yang kita yakini juga dapat mendorong untuk dipikirkan kembali terhadap apa-apa yang mereka yakini.

Toleransi mendalam membawa konsekuensi reduksi dan ekspansi yang kita harus terima, kita harus menghargai pendapat orang lain jika dalam pendapatnya mengandung sebuah kebenaran yang mau tidak mau kita harus mereduksi bahwa pendapat kita bukan satu-satunya yang paling benar dan kita dibuat melihat kemungkinan lain yang lebih besar sehingga memperluas perspektif kita.

Dalam toleransi mendalam kita harus berani untuk melihat dari mata pihak lain. Kita biasanya melihat suatu fenomena itu hanya dari sudut pandang kita sehingga mengganggap dengan sepihak bahwa apa yang kita pandang itu salah, aneh, sesat, ganjil, kesangkitan maka dari itu kita harus belajar berani untuk melihat dari mata pihak lain.

Dengan semua hal itu kita dapat konsekuensi bahwa kebenaran adalah sesuatu yang berkembang. Jika kita menganggap kebenaran itu sudah fix ada ditangan kita seperti siapa kita ? Tuhan itu apa ? Kemana kita setelah mati ? akan tetapi pengertian kita tentang kebenaran itulah yang pasti akan berkembang; Kebenaran akan bermunculan sisi barunya bagi kita jika kita melakukan pergaulan dengan pihak lain. Dalam hal itu kita akan menata ulang sistem nilai dalam hidup kita, memang jarang seseorang berani menata ulang nilai hidupnya.

Toleransi medalam sangat dibutuhkan untuk kita agar tidak menjadi kerdil, biarlah hal yang mutlak hanya Allah yang tahu yang terpenting pemahaman kita, nilai hidup kita terus berkembang dan berkembang sehingga menjadi kompleks dan hal itu sudah cukup berharga bagi kita.

Ketidakbermaknaan dan problem identitas ini kita seharusnya berani mencari sebuah nilai hidup yang layak untuk kita jalani sendiri terus menerus dan bersifat pragmatis bahwa jika nilai hidup kita sudah tak layak pakai dalam situasi dan kondisi tertentu mari menata kembali nilai hidup kita untuk kondisi dan situasi yang ada dihadapan kita dan untuk perkembangan diri kita kearah yang lebih baik.

Sama seperti apa yang diceritakan oleh Camus dalam bukunya “mitos Sissyphus” Sissyphus bahagia mendapati hukuman mendorong batu kepuncak gunung dan setelah sampai puncak, ia menikmati batu itu bergelinding jatuh kembali ketempat dimana ia mulai mendorongnya dan mulai mendorongnya lagi sampai puncak begitu seterusnya sampai hukumannya selesai. 

Ketidakbermaknaan hidup didunia yang absurd ini; dunia yang penuh dengan ketidakjelasan, yang telah kita masuki ini, yang diakibatkan dari keterlemparan manusia dari alam sejati harus berani kita jalani dan nikmati. Ketidakbermaknaan hidup dapat kita jalani jika kita menganggap bahwa hidup ini menyenangkan, bahwa hidup ini senda gurau belaka.

Camus menyarankan untuk tidak menyerah pada kematian seperti men-skip hidup kita untuk segera berangkat menuju alam berikutnya. Hidup jangan hanya tenggelam dalam ilusi pencapaian, lihatlah Sissyphus yang menikmati mendorong batu hingga puncak dan kemudian batu itu menggelinding menuruni bukit begitu seterusnya. Ya ia bahagia dengan itu! Siapa Sissyphus ? Kita; Manusia.

Camus mengajak kita untuk menyadari bahwa kesenangan dan kepahitan dalam hidup merupakan hal yang sementara; tak ada yang abadi dan kita tidak boleh menyerah pada kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun