Mohon tunggu...
Aji NajiullahThaib
Aji NajiullahThaib Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Seni

Hanya seorang kakek yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menertawakan Diri Sendiri

5 Desember 2019   06:04 Diperbarui: 5 Desember 2019   06:24 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bersikap jujur pada diri sendiri, dan siap menertawakan diri sendiri, tentu bukan perkara mudah. Dibutuhkan pikiran yang realitistis untuk menilai dan melihat kebodohan sendiri. Inilah yang ingin saya tuliskan, dan saya siap menjadi bahan tertawaan.

Pengalaman ini saya alami saat usia saya baru 28 tahun, antara tahun 1987 sampai tahun 1990, saat itu saya belajar menjadi pengusaha, setelah bekerja dive berapa perusahaan. Saya pantas tidak sukses karena berbagai kebodohan yang sudah saya lakukan. Saya sadar betul kalau saya tidak berbakat menjadi pengusaha,  meskipun peluangnya sangat terbuka.

Tidak Mampu Menjaga Relasi

Modal utama dalam usaha itu adalah kejujuran, karena dari kejujuran itulah akan menimbulkan kepercayaan. Dalam usaha kepercayaan itu adalah modal terpenting yang harus dimiliki seorang calon Pengusaha. Modal itulah yang tidak saya miliki.

Padahal awal merintis usaha saya diberikan kepercayaan penuh oleh sebuah perusahaan asuransi, yang mem-back up saya dengan memberikan pekerjaan pada perusahaan saya. Kepercayaan tersebut saya sia-siakan, karena tidak siap menghadapi perkembangan usaha.

Begitu usaha mulai berkembang, relasi terus bertambah, saya melupakan dan menyia-nyiakan pekerjaan dari perusahaan Asuransi tersebut, padahal intensitas pekerjaan yang diberikan sangat rutin, dan nilainya sangat cukup untuk menutupi overhead setiap bulan.

Hanya karena kebodohan dan ketidakcermatan dalam mengelola pekerjaan, mengatur Chasflow, akhirnya perusahaan asuransi tersebut melepaskan diri menjadi klien saya. Sementara pekerjaan yang datang dari klien baru tidaklah bersifat rutin, hanya temporer.

Mementingkan Performa Tenimbang Pelayanan

Kebodohan lain yang saya lakukan dalam mengelola usaha, saya lebih mementingkan performa daripada pelayanan. Padahal usaha yang saya geluti, design and printing, sangat mengutamakan pelayanan, bukanlah penampilan.

Sampai ada salah satu klien saya menasehati, kamu datang kekantor saya naik bus pun tetap akan saya hargai, tidak perlu kamu naik taksi atau sewa taksi jam-jaman. Ini salah satu beban bagi pengeluaran usaha saya, sehingga kadang besar pasak dari pada tiang. Penghasilan tidak seberapa, pengeluarannya luar biasa, hanya untuk membayar penampilan.

Padahal usaha tersebut saya rintis pada awalnya hanya dari menumpang dikantor pemasaran gedung penyewaan ruang perkantoran. Dari cuma menumpang sampai akhirnya bisa menyewa ruang kantor sendiri. Hasil kerja keras tersebut tidak saya kelola secara cermat, hingga akhirnya usaha tersebut hanya bertahan selamat dua tahun.

Saya bangkit lagi dengan menyewa rumah bersama-sama teman yang juga punya usaha, namun itupun tidak bertahan lama, karena saya tidak belajar dari kegagalan. Gaya hidup dikedepankan, sementara kejujuran mulai luntur, kepercayaan klien pun juga begitu.

Tidak Mensyukuri Nikmat

Sampai pada akhirnya saya introspeksi bahwa saya memang orang yang tidak pandai memanfaatkan kesempatan dengan baik, berkali-kali Tuhan kasih jalan yang begitu bagus, namun saya tidak tahu mensyukurinya. Dikasih nikmat salah manfaat, dikasih kesulitan cuma sebatas untuk bangkit, setelah bangkit, lupa diri lagi.

Padahal pada masa itu graphic designer sedang digandrungi, saya punya Brandmark yang cukup disukai dan cirinya mudah di kenal. Itulah ketika kita tidak pandai bersyukur atas nikmat Allah, maka Allah cabut nikmat tersebut.

Tapi memang kebangkitan hidup dan karir saya sebagai penata artistik, dengan profesinya inilah saya pada akhirnya bisa established. Bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama. Dari tahun 1990 - 2016, patut saya syukuri, sehingga saya bisa menikmati sisa umur hanya dengan menulis.

Aktivitas fisik boleh berhenti, tapi aktivitas berpikir tidak boleh terhenti. Dengan menulis, maka aktivitas berpikir akan memberikan energi positif pada otak. Minimal bisa mengurangi proses kepikunan. Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun