Mohon tunggu...
Aji Prasanto
Aji Prasanto Mohon Tunggu... Bujangan

Suka menulis apa saja dan tertarik dengan keluh kesah dunia.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

[Coretan Ramadhan 14] Perempuan: Penderitaan, Pesakitan, dan Ketidakberdayaan

5 April 2023   22:49 Diperbarui: 5 April 2023   23:01 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cahaya Ramadhan, (pexels.com/ Oleksandr Pidvalnyi)

Pada masa Yunani Kuno, masa ini banyak melahirkan para pemikir, filsuf. Namun dalam hak dan kewajiban perempuan tidak banyak di singgung. Di masa ini, kalangan atas (Elite) menempatkan para wanitanya di dalam istana-istana mereka (disekap), sedangkan pada kalangan kelas bawah, para wanita menjadi komoditi yang diperjualbelikan. Dalam berumah tangga, para istri sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya, tidak memiliki hak sipil, bahkan hak waris.

Di masa ini, orang tua mengharuskan setiap anak perempuannya untuk sepenuhnya tunduk pada kehendak mereka. Wanita Yunani harus tetap selalu menaati segala sesuatu yang datang dari laki-laki, apakah dia itu ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya bahkan paman-pamannya. Pada masa ini, wanita suci dipandang sebagai sesuatu yang amat berharga. Wanita-wanita Yunani mengenakan sejenis cadar, dan ditempatkan di asrama khusus wanita.

Wanita pada masa ini, diklasifikasi menjadi tiga macam yaitu: Para pelacur yang semata bertugas sebagai pemuas nafsu laki-laki, Selir-selir yang tugasnya adalah merawat tubuh dan kesehatan tuannya, dan Para istri yang bertugas merawat dan mendidik anak-anak sama seperti apa yang dilakukan oleh para pengasuh anak atau baby sitter sekarang ini.

Selanjutnya pada masa Romawi, memandang seorang wanita (istri) sebagai seorang balita atau anak remaja yang harus selalu diawasi. Pada masa ini, saat seorang wanita menikah maka dia dan segala miliknya berada di bawah kekuasaan suami. Tidak hanya itu, suami juga mengambil alih hak-hak sang istri. Apabila seorang istri melakukan suatu kesalahan, maka adalah hak suami untuk menjatuhkan hukuman baginya, bahkan seorang suami berhak memvonis mati terhadap istrinya.

Kedudukan seorang wanita pada masa ini tidak lebih dari sekedar barang koleksi (perabot) milik suaminya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan seorang wanita di sini tak ubahnya sama seperti seorang budak, yang tugasnya semata-mata menyenangkan dan menguntungkan tuannya. Apabila suaminya meninggal, maka semua anak laki-lakinya (baik kandung maupun tiri), terutama saudara laki-lakinya berhak atas dirinya.

Kemudian pada masyarakat India, seorang wanita dipandang sebagai sumber dosa dan sumber dari kerusakan akhlak dan agama. Seorang wanita India hanya dijadikan sebagai permainan nafsu kebinatangan belaka, masyarakat India memandang hubungan seks antara seorang laki-laki dan perempuan merupakan sesuatu yang menjijikkan dan zalim dengan tidak memandang sah atau tidaknya hubungan tersebut.

Dalam hubungan berumah tangga, seorang istri memanggil suaminya dengan sebutan "Yang Mulia" bahkan "Tuhan" dengan anggapan bahwa laki-laki adalah seorang penguasa bumi. Seorang istri tidak pernah diajak makan bersama dengan suaminya. Dia harus memuja suaminya, serta juga harus melayani ayah dari suaminya. Karena wanita dianggap barang milik suami, dan dia harus tunduk pula kepada anak-anaknya. Begitu pula, dalam pembagian hak waris yang hanya ditujukan kepada garis laki-laki saja.

Lalu pada masyarakat Arab, disebutkan bahwa pada masa ini kedudukan seorang wanita lebih memprihatinkan lagi. Yang mana menganggap seorang wanita merupakan sebuah aib bagi keluarga, Anak Perempuan Mereka di Kubur Hidup-Hidup dengan anggapan bahwa dengan mengubur anak perempuan mereka, aib di keluarga mereka juga akan terkubur.

Masyarakat Arab Jahiliyah memandang wanita dengan dua cara, yaitu mengubur hidup-hidup anak perempuan agar terlepas pula dari aib di keluarganya. Kemudian, jika tidak dikubur seorang anak perempuan mereka dipelihara dengan tidak adil serta jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Mengutip dari uinsgd.ac.id, pada masa itu pula seorang ibu kandung menjadi barang warisan, anak boleh mengawini ibunya. Lebih keji lagi, sepuluh orang boleh menggauli seorang wanita bersama-sama dan ketika anaknya lahir, si ibu boleh mengklaim satu di antara 10 bapak itu sebagai si pemilik anak.

Perempuan pada masa ini tak ubahnya seperti sampah bahkan kotoran masyarakat. Hidup mereka dipenuhi dengan kehinaan dan kerendahan, menjadi simbol keterbelakangan serta kehinaan. Begitu pula pada masyarakat Cina, Persia, Skandinavia, dll pada masa itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun