Mohon tunggu...
Aiyu Gaara
Aiyu Gaara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis asal Bumi Rafflesia yang tengah berbaur dengan manusia

Seorang penikmat hujan, cokelat, juga sepi. Diam-diam menyukai senja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hari (untuk) Anak

27 Juli 2019   05:55 Diperbarui: 27 Juli 2019   05:56 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ayah, nanti pulang jam berapa?"


Pertanyaan dari Kaga tidak membuatku berhenti mengoleskan selai kacang ke atas selembar roti, menu sarapan paling praktis selain telur dadar tomat yang dibuat istriku. Ini pertanyaan kedua setelah tadi aku mengajaknya mandi bersama, rutinitas harian jika aku tidak bangun kesiangan.


"Pulang sore. Kenapa memangnya? Kaga mau makan sesuatu?" tanyaku seraya menatap mata beningnya yang selalu membuat rasa lelahku hilang setelah pulang kerja.


Anak enam tahun yang baru masuk sekolah itu menggeleng. Ia menunduk menatap piring berisi roti dengan selai strawberry kesukaannya yang masih utuh. Tangan mungilnya saling bertaut satu sama lain. Aku tahu, jika sudah begini tentulah ada sesuatu yang diinginkannya.


Aku menoleh pada Kirani---istriku---yang tengah menyiapkan bekal sekolah untuk Kaga. Wanita cantik yang masih memiliki tubuh ramping meski telah melahirkan dua anakku itu hanya mengendikkan bahu. Kemudian, ia meninggalkan pekerjaannya saat suara tangis anak keduaku terdengar dari dalam kamar.


Aku kembali menatap Kaga yang masih di posisi semula. "Kaga mau apa?" tanyaku lembut.


Ia langsung mengangkat kepala, menatapku penuh harap. "Ayah, Kaga mau liburan. Kapan kita liburan?" tanyanya fasih.


Harus kuakui bahwa Kaga sangat pintar. Di usia tiga tahun ia sudah pandai berhitung dan mulai suka membaca buku bergambar. Ia juga sudah hapal beberapa surah-surah pendek yang diajarkan guru mengajinya di TPA dekat rumah. Bahkan setelah adiknya lahir, ia menjadi sosok kakak yang sangat bertanggung jawab. Aku bisa melihat jiwa pemimpin di dirinya saat ini. Persis aku dulu, setidaknya begitu kata Bapak.


"Nanti, ya, kalau Ayah libur." Aku tersenyum, meneguk kopi susu dan memakan potongan terakhir roti isi. Lalu mengambil tas kantor yang kuletakkan di samping kursi. "Ayah berangkat, ya," kataku lagi sambil mengusap rambutnya yang cukup panjang.


"Iya, Ayah. Hati-hati."


Kukecup keningnya pelan sebelum pamit pada Kirani dan anak kedua kami Kisha. Kaga sendiri akan dijemput oleh bus sekolah.


Bekerja sebagai manajer di sebuah kedai makanan cepat saji membuatku harus datang lebih awal untuk memimpin tim. Terkadang, aku juga harus pulang paling akhir untuk membuat laporan yang akan dikirim pada pemilik kedai, atau jika ada masalah lainnya.


Memang belakangan ini aku selalu pulang Magrib lantaran adanya pemesanan tempat untuk acara, atau bahkan lebih malam karena harus mengontrol keadaan. Bertemu Kaga dan Kisha pun hanya sebentar. Sekadar 'say hello' kemudian berakhir di ranjang karena terlalu lelah bekerja. Waktu bermain dengan mereka pun semakin berkurang. Namun, mau bagaimana lagi? Selain keluarga, aku juga punya tanggung jawab lainnya. Pekerjaan.
**

Hari ini aku kembali pulang Magrib. Pada jam-jam segini, jalanan lebih macet dari biasa. Antrian lampu merah mengular hingga beberapa meter. Perjalanan yang biasanya ditempuh hanya dua puluh menit pun bisa menjadi setengah jam bahkan lebih.


"Bapak, besok kita main layangan lagi, ya."


"Iya, tapi janji mau makan yang banyak."


"Iya, Pak."


Obrolan singkat dari seorang bapak dan anak yang digendongnya di punggung menarik perhatianku. Di tangan kiri pria paruh baya itu terdapat gulungan benang dan layangan ekor. Sedangkan tangan kanannya memegang si anak agar tidak jatuh.


Aku teringat, dulu aku pun sering mengajak Bapak bermain layangan di lapangan kompleks. Setiap sore setelah Bapak pulang dari bekerja sebagai guru sekolah, beliau dengan senang hati menyambut ajakanku. Hampir setiap hari Minggu kami memancing di kolam pemancingan atau di laut, setelahnya Ibu akan memasak ikan goreng dengan sambal kecap kesukaanku.


Saat libur sekolah, kami sekeluarga pun pergi bertamasya. Dulu di Bengkulu, masih belum banyak tempat wisata seperti sekarang, fasilitasnya pun seadanya. Namun, entah mengapa dulu begitu menyenangkan. Sekadar memberi makan rusa di rumah dinas gubernur, kemudian bermain di Lapangan Merdeka yang rumputnya masih hijau sudah membuat hati senang.


Ah, aku rindu.


Tiin. Tiin.


Suara klakson menyadarkanku dari lamunan. Segera kulajukan mobil dengan kecepatan sedang. Pikiranku tiba-tiba kembali tersita oleh kilas masa lalu. Ada perasaan bersalah saat kuingat lagi percakapan di meja makan dengan Kaga tadi pagi. Seharusnya, aku pun memberinya hak kebahagiaan sebagai anak.


Aku salah, materi nyatanya tidak cukup berarti dibandingkan waktu pribadi bersama keluarga.
**

Minggu pagi, setelah rutinitas harian yang kulakukan bersama Kaga, aku mengajaknya pergi. Ia yang biasanya langsung mengasuh sang adik sedikit bingung dengan penampilanku yang terlihat santai, tidak memakai kemeja sebagaimana akan bekerja.


"Ayah tidak kerja?"


"Tidak. Hari ini Ayah libur."


"Tapi kata Ayah, manajer tidak pernah libur. Nanti kalau Ayah dimarah sama bos gimana?"


"Tidak, Ayah sudah minta izin. Hari ini kita liburan. Jalan-jalan!"


"Serius, Yah?"


Mata Kaga berbinar, dan aku suka sekali melihatnya. Dari ruang tengah aku bisa melihat senyum Kirani. Kurasa wanitaku itu juga butuh liburan dan udara segar. Ia pasti sangat lelah karena harus mengurus anak dan rumah.


"Iya. Kita pergi ke supermarket dulu beli makanan. Nanti biar Ayah yang masak."


Kaga mengangguk senang. "Iya, Kaga sudah lama tidak makan masakan Ayah."


"Iya, Sayang."


Maka di hari Minggu itu, sepenuhnya aku menjalani hari bersama keluarga kecilku. Setelah memasak untuk bekal dan menyiapkan perlengkapan piknik, kami berangkat menuju Taman Wisata Wahana Surya. Kaga pernah mengatakan bahwa ia ingin main air dan piknik di bawah pohon seperti film kartun keluarga yang ditontonnya.
Kebetulan sekali Wahana Surya yang terletak di Pasar Pedati, Pondok Kelapa ini selain menyuguhkan pemandangan indah juga memiliki water bumps. Aku ingat terakhir kali ke sana adalah setahun lalu saat libur Lebaran. 

Sorenya, Pantai Panjang menjadi tempat pilihan Kirani. Ia ingin melihat senja, mengulang masa pendekatan kami dulu. Ah, wanitaku itu masih saja romantis.


Bumi Rafflesia, 23 Juli

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun