Selain itu, sesuai dengan mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH), sebagian penerimaan dari SDA disalurkan ke daerah penghasil. Kebijakan ini memang bertujuan adil secara fiskal, tetapi membuat porsi penerimaan SDA di APBN pusat menjadi relatif kecil.
5. Hilirisasi dan Nilai Tambah Masih Terbatas
Salah satu kelemahan besar dalam pengelolaan SDA Indonesia adalah minimnya nilai tambah. Sebagian besar hasil SDA masih diekspor dalam bentuk bahan mentah (raw material). Misalnya, nikel dan batubara diekspor tanpa diolah menjadi produk industri seperti baja tahan karat atau baterai kendaraan listrik.
Padahal, nilai tambah dari produk olahan jauh lebih besar dan bisa meningkatkan penerimaan negara melalui pajak perusahaan, PPN, serta dividen dari BUMN pengelola. Pemerintah saat ini memang sedang mendorong hilirisasi, namun proses ini butuh waktu panjang dan investasi besar.
6. Penerimaan Pajak: Stabil, Tumbuh, dan Menyeluruh
Berbeda dengan SDA, penerimaan pajak bersumber dari berbagai sektor ekonomi dan lapisan masyarakat, mulai dari perusahaan besar hingga UMKM. Karena basisnya luas dan terdistribusi, penerimaan pajak cenderung lebih stabil meskipun terjadi gejolak ekonomi global.
Selain itu, dengan meningkatnya aktivitas ekonomi digital dan konsumsi domestik, potensi penerimaan pajak terus bertambah setiap tahun. Pemerintah juga menargetkan rasio pajak (tax ratio) meningkat secara bertahap agar mampu membiayai pembangunan tanpa terlalu bergantung pada utang atau SDA.
7. Data Dominasi Pajak dalam APBN
Sebagai ilustrasi, pada APBN 2024, total penerimaan negara diperkirakan mencapai sekitar Rp2.800 triliun, di mana:
Penerimaan pajak menyumbang sekitar Rp2.350 triliun (80%)
PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sekitar Rp450 triliun (20%), termasuk dari SDA migas dan nonmigas