Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan sumber daya alam. Dari Sabang sampai Merauke, tersimpan berbagai potensi seperti minyak bumi, gas alam, batubara, emas, nikel, kelapa sawit, hingga hasil laut yang melimpah.
Namun, meskipun anugerah alam begitu besar, realitanya sebagian besar penerimaan negara Indonesia masih bergantung pada pajak.
Menurut data Kementerian Keuangan, sekitar 75-80% penerimaan negara setiap tahunnya berasal dari sektor perpajakan. Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah kekayaan alam Indonesia tidak cukup untuk membiayai negara?
Mari kita bahas lebih dalam:
1. Sumber Daya Alam Bersifat Tidak Berkelanjutan dan Fluktuatif
Sumber daya alam (SDA), khususnya yang bersifat ekstraktif seperti minyak, gas, dan tambang, tidak dapat diperbarui. Cadangannya terbatas dan suatu saat akan habis. Ketika cadangan menurun, otomatis penerimaan negara dari sektor tersebut juga ikut turun.
Selain itu, harga komoditas SDA di pasar global sangat fluktuatif. Harga minyak mentah, misalnya, bisa naik dan turun secara drastis tergantung kondisi geopolitik dan ekonomi dunia.
Ketidakstabilan ini membuat pendapatan negara dari SDA sulit diprediksi dan berisiko tinggi untuk dijadikan sumber penerimaan utama. Pajak, sebaliknya, menawarkan sumber penerimaan yang lebih stabil dan berkelanjutan, karena berasal dari kegiatan ekonomi domestik seperti konsumsi, pendapatan, dan perdagangan.
2. Struktur Ekonomi Indonesia Sudah Beralih ke Sektor Non-SDA
Pada masa Orde Baru, ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada minyak dan gas bumi. Namun sejak krisis minyak dunia dan reformasi ekonomi pada akhir 1990-an, struktur ekonomi Indonesia bertransformasi. Kini, sektor dominan bukan lagi ekstraktif, melainkan jasa, manufaktur, perdagangan, dan pertanian.
Sektor-sektor tersebut tidak menghasilkan royalti atau dividen dari SDA, melainkan aktivitas ekonomi yang dikenakan pajak seperti PPh (Pajak Penghasilan), PPN (Pajak Pertambahan Nilai), dan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).