Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM) serta Sertifikasi Kompetensi Perencana Keuangan Syariah Internasional (RIFA). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Cape Verde Lolos ke Piala Dunia: Hiu Biru Afrika dan Cermin Bagi Garuda Nusantara

15 Oktober 2025   07:47 Diperbarui: 15 Oktober 2025   11:51 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kompas.id/artikel/sukacita-cape-verde-lolos-piala-dunia-2026

Sebagai perbandingan, Indonesia berada di peringkat ke-119 dunia, capaian tertinggi sejak 2006 namun masih jauh dari zona kompetitif Asia. Dalam konteks global, perbedaan hampir 60 peringkat itu mencerminkan jurang pengalaman dan sistem pembinaan. Tetapi, yang menarik bukan jaraknya---melainkan arah pergerakannya. Cape Verde terus naik, Indonesia baru menapaki tangga awal.

Keberhasilan Cape Verde menjadi bukti bahwa strategi yang konsisten lebih kuat dari nama besar. Dalam sepak bola modern, ukuran negara tidak menentukan hasil; arah visi yang terukurlah yang membedakan. "Hiu Biru" telah membuktikan bahwa laut kecil pun bisa melahirkan ombak besar, selama tahu ke mana harus berenang.

Menyibak Cermin Nusantara: Pelajaran untuk Garuda dan Warisan Indonesia Muda

Kisah Cape Verde menyoroti realitas yang akrab bagi Indonesia. Negeri kepulauan dengan ratusan juta penduduk ini masih berjuang menembus batas Asia, sementara negara kecil di Afrika sudah melangkah ke Piala Dunia. Perbandingan ini bukan untuk merendahkan, tetapi untuk membuka cermin yang selama ini mungkin berdebu: bahwa potensi besar tanpa arah hanya akan menjadi wacana.

Cape Verde berhasil karena tiga hal: kesinambungan filosofi, kejelasan sistem, dan mental kolektif. Indonesia justru kerap tergelincir di area ini. Setiap pergantian pelatih membawa filosofi baru, setiap hasil buruk memicu keputusan spontan. Padahal sepak bola bukan sprint, tapi maraton. Dibutuhkan sabar, disiplin, dan waktu. Bila federasi memberi ruang bagi pelatih untuk membangun pondasi jangka panjang, seperti yang dilakukan Cape Verde terhadap Bubista, maka identitas permainan Indonesia pun akan terbentuk.

Yang menarik, Indonesia sebenarnya sudah memiliki fondasi historis dalam hal kaderisasi dan pembinaan generasi muda. Jauh sebelum era modern, organisasi Indonesia Muda (IM) pada 1930-an telah menanamkan semangat nasionalisme melalui olahraga, termasuk sepak bola. Dari rahim IM lahir pemain-pemain yang kelak mengenakan lambang Garuda di dada---contohnya Dede Sulaiman, Yohanes Auri, Wahyu Hidayat, hingga Didi Darmadi di era 1980-an. Mereka bukan sekadar pemain, melainkan kader bangsa yang ditempa dalam semangat kebersamaan dan pengabdian.

Model yang dibangun IM sejatinya bisa dihidupkan kembali: sepak bola sebagai alat pembentukan karakter, bukan sekadar hiburan massal. Cape Verde mempraktikkan hal ini dengan versi modernnya---mereka tak hanya mencari pemain hebat, tapi membentuk kesadaran kolektif nasional. Di Indonesia, program serupa bisa diperkuat melalui akademi usia muda, klub sekolah, hingga sistem seleksi berjenjang yang berpihak pada pembinaan, bukan politik prestasi sesaat.

Selain itu, Indonesia perlu mengelola diaspora secara sistematis, bukan sporadis. Banyak pemain keturunan yang berkiprah di luar negeri bisa menjadi aset strategis, namun proses naturalisasi harus berbasis visi pembinaan jangka panjang. Mereka harus disiapkan sejak dini agar menyatu dengan sistem permainan, bukan sekadar tambahan darurat menjelang turnamen.

Dan yang paling penting: mentalitas. Cape Verde kecil tapi berani bermimpi besar. Indonesia besar tapi sering merasa kecil. Kita mudah terbawa euforia---menang satu laga langsung berpesta, kalah satu pertandingan langsung marah. Padahal, tim kuat lahir dari proses panjang dan kekalahan yang didisiplinkan. Seperti kata Bubista, "Kami tidak mengejar kemenangan besar, kami menjaga arah kecil yang benar." Sebuah kalimat yang seharusnya jadi renungan bagi semua yang mencintai sepak bola Indonesia.

Menutup Ombak, Membuka Jalan

Ketika Cape Verde melangkah ke lapangan Piala Dunia nanti, dunia akan melihat lebih dari sekadar sebelas pemain yang berlari di atas rumput. Mereka akan melihat kisah bangsa kecil yang menolak tunduk pada takdir, yang berlayar di antara badai keterbatasan dengan kompas keyakinan dan arah yang jelas. Dari pulau-pulau kecil di Samudra Atlantik, mereka menutup ombak keraguan dan membuka jalan baru bagi negara-negara kecil untuk berani bermimpi besar. Di tengah dentuman musik dan sorak pendukung, bendera biru mereka berkibar sebagai simbol bahwa kerja keras dan keteguhan bisa menaklukkan sejarah panjang sekalipun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun