Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, serta Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Vasektomi untuk Bansos ?

1 Mei 2025   21:28 Diperbarui: 2 Mei 2025   05:22 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://health.kompas.com/read/2025/05/01/142906068/mengenal-vasektomi-yang-diusulkan-dedi-mulyadi-jadi-syarat-terima-bansos

Vasektomi untuk Bansos? Ketika Negara Mulai Mengatur Rahim dan Kantong Warga

Ketika Bansos Jadi Alat Kontrol, Bukan Perlindungan

Pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi soal kewajiban vasektomi bagi penerima bantuan sosial seakan mengguncang kesadaran publik: sejak kapan negara boleh mengatur isi rumah tangga, bahkan isi rahim, demi menekan angka kemiskinan? Sementara di permukaan ide ini terdengar logis, mengurangi jumlah anak berarti mengurangi beban keluarga miskin, nyatanya hal itu mengandung persoalan etis yang sangat serius. Negara tidak boleh menjadikan bantuan sosial, yang seharusnya bersifat perlindungan dan pemulihan sosial, sebagai alat untuk mengendalikan hak-hak dasar warga, termasuk hak reproduksi. Menghubungkan bansos dengan vasektomi mengubah relasi antara pemerintah dan rakyat: dari hubungan pelindung dan yang dilindungi, menjadi hubungan transaksi bersyarat yang melemahkan martabat warga miskin.
Padahal, jika kita bicara soal kemiskinan, penyebabnya jauh lebih kompleks daripada sekadar jumlah anak. Akar masalahnya ada pada ketidaksetaraan kesempatan pendidikan, lapangan kerja yang terbatas, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan minimnya akses terhadap fasilitas kesehatan. Membatasi anak tanpa memperbaiki ekosistem ini hanya akan membuat kemiskinan diwariskan ke generasi berikutnya. Negara seharusnya menguatkan bansos sebagai jaring pengaman sosial yang adil, transparan, dan tidak menghakimi pilihan hidup warganya. Jangan sampai narasi "efisiensi anggaran" menjadi kedok untuk memotong hak-hak dasar manusia.

Penerima Bantuan: Rakyat yang Berhak, Bukan Tersangka yang Diperiksa

Ketika negara memperlakukan penerima bantuan sosial seperti pihak yang patut dicurigai, semangat perlindungan sosial berubah menjadi atmosfer pemeriksaan, penghakiman, bahkan hukuman. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, dalam usulannya, seakan-akan menyatakan bahwa warga miskin adalah penyebab utama kemiskinan mereka sendiri karena terlalu banyak anak. Padahal, penerima bansos bukan pelaku kriminal yang harus "disaring" dengan alat kontrol tubuh. Mereka adalah warga negara yang berhak mendapatkan perlindungan negara dalam situasi rentan. Angka kemiskinan di Indonesia justru sering naik-turun karena faktor eksternal seperti inflasi, krisis global, pandemi, dan bencana alam, hal-hal yang di luar kendali individu.
Untuk memperbaiki tata kelola bansos, pemerintah sebaiknya memperkuat pemutakhiran data penerima berbasis NIK dan integrasi dengan DTKS, bukan sekadar melihat siapa punya berapa anak. Masalah yang lebih krusial justru adalah kebocoran data, penyaluran yang tidak tepat sasaran, atau politisasi bansos menjelang pemilu. Lebih penting lagi, bansos harus dipandang sebagai langkah sementara untuk menopang kehidupan, bukan status permanen. Karenanya, selain memberikan bansos, pemerintah wajib membuka jalan agar penerimanya bisa mandiri, lewat akses pelatihan kerja, pendidikan keterampilan, dan pembukaan lapangan kerja. Jangan biarkan bantuan menjadi jebakan stagnasi, apalagi menjadi alat untuk memotong hak-hak paling privat warga.

Belajar dari Negara Lain: Bansos Tidak Boleh Menghapus Hak Dasar

Jika kita menoleh ke praktik internasional, hampir tidak ada negara demokratis yang menyaratkan pembatasan hak reproduksi sebagai prasyarat bansos. Negara-negara Skandinavia, seperti Swedia dan Norwegia, memberikan jaminan sosial universal dengan prinsip kesetaraan, bukan diskriminasi. Bahkan di Amerika Serikat, yang dikenal sangat ketat dalam kriteria bansos, program seperti SNAP hanya memeriksa pendapatan, bukan mempersoalkan pilihan reproduksi atau gaya hidup. Sebaliknya, sejarah menunjukkan bahwa kebijakan intervensi tubuh, seperti sterilisasi paksa di India era Indira Gandhi, justru meninggalkan trauma nasional dan mencoreng reputasi pemerintah.        
Yang dilakukan negara-negara maju saat ini adalah mengarahkan bansos sebagai batu loncatan, bukan sekadar alat bertahan hidup. Mereka memberikan subsidi pelatihan kerja, insentif bagi perusahaan yang mau mempekerjakan kelompok rentan, hingga memotong pajak untuk UMKM yang mau membuka lowongan bagi warga miskin. Semua itu dilakukan dengan pendekatan edukasi, bukan paksaan. Contoh lain adalah program di Jerman yang menekankan reskilling dan upskilling, memastikan pelatihan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Karena tujuan akhirnya bukan memotong hak, tetapi memotong ketergantungan. Dengan strategi seperti ini, masyarakat didorong keluar dari lingkaran bansos menuju kemandirian ekonomi, bukan dijebak dalam logika "kurangi anak agar tidak miskin".

Negara Tak Boleh Jadi Tukang Cukur Hak Asasi

Usulan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi soal vasektomi sebagai syarat bansos tidak hanya salah arah, tapi juga salah kaprah. Negara yang baik seharusnya tidak menjadi tukang cukur hak asasi warganya, memotong satu demi satu kebebasan demi alasan efisiensi fiskal. Kebijakan seperti ini mencerminkan pendekatan yang miskin empati dan gagal memahami kompleksitas kemiskinan. Faktanya, kemiskinan tidak akan selesai hanya dengan membatasi jumlah anak, tetapi dengan memperbaiki struktur ekonomi, pendidikan, dan kesehatan secara menyeluruh.
Yang lebih tepat, negara harus menciptakan insentif sosial yang menghubungkan bansos dengan kesempatan memperbaiki hidup. Misalnya, penerima bansos yang mengikuti pelatihan kerja berbasis kebutuhan industri diberikan insentif tambahan. Program link and match harus diperkuat, agar pelatihan yang diberikan tidak sia-sia, tetapi benar-benar sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Selain itu, pemerintah perlu memperkuat ekosistem wirausaha mikro, sehingga warga yang sebelumnya tergantung bansos bisa berkembang menjadi pelaku usaha mandiri. Dengan pendekatan seperti ini, bansos bukan lagi sekadar beban fiskal, tapi investasi sosial yang menguntungkan semua pihak: pemerintah, masyarakat, dan perekonomian nasional. Karena pada akhirnya, kebijakan yang baik bukan yang memaksa rakyat memilih antara tubuh dan hidup, melainkan yang menjaga keduanya sekaligus, dengan menghormati martabat dan hak asasi manusia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun