Hari Buruh di Indonesia bukan sekadar agenda rutin tahunan, tapi punya makna historis, politis, dan simbolis yang panjang. Pada era awal kemerdekaan, Presiden Soekarno menegaskan keberpihakannya kepada kelas pekerja dengan menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Nasional.Â
Ini adalah pengakuan negara terhadap peran buruh dalam pembangunan bangsa, sebuah langkah yang diambil untuk menyatukan kekuatan nasional di tengah pergolakan ekonomi dan politik pascakemerdekaan.Â
Kini, di era pemerintahan Prabowo, makna itu dihidupkan lagi lewat kehadiran langsung sang presiden dalam peringatan Hari Buruh 1 Mei, dengan janji besar: pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional.Â
Banyak yang melihat langkah Prabowo sebagai manuver politik, tapi di baliknya tersimpan potensi: untuk mengangkat isu buruh dari sekadar panggung demonstrasi menjadi ruang dialog yang lebih konstruktif.
Namun tak bisa diabaikan bahwa Hari Buruh tak hanya bermakna nasional. Internasional, tanggal ini dikenal sebagai International Workers' Day, diperingati di lebih dari 80 negara, dengan akar sejarah di Amerika Serikat: demonstrasi Haymarket pada 1886, ketika buruh menuntut pembatasan jam kerja menjadi delapan jam sehari.Â
Semangat itu menyebar ke Eropa, Amerika Latin, Asia, dan akhirnya ke Indonesia, yang pada masa Soekarno mengadopsinya sebagai bagian dari semangat anti-imperialisme dan perjuangan kelas.Â
Dalam konteks Indonesia hari ini, tantangannya bukan hanya memperingati sejarah, tetapi menjawab realitas baru: ketidaksetaraan antarwilayah, relokasi industri karena kesenjangan upah minimum, dan sistem pengupahan yang belum sepenuhnya adil. Pertanyaannya: apakah janji Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional cukup menjawab semua itu?
Menggaji Tanpa Bunuh Diri: Menemukan Titik Temu Perusahaan dan Buruh
Masalah upah selalu menjadi pusat peringatan Hari Buruh, dan ini bukan isu kecil. Kenaikan UMP setiap tahun sering dianggap sebagai kemenangan serikat pekerja, tetapi di baliknya, ada dinamika yang lebih rumit.Â
Perusahaan, terutama industri padat karya seperti tekstil, garmen, sepatu, dan elektronik, menghadapi tekanan besar.Â
Data menunjukkan bahwa UMP di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten termasuk yang tertinggi di Indonesia, sehingga banyak pabrik memilih untuk merelokasi operasional mereka ke Jawa Tengah, di mana UMP lebih rendah dan biaya produksi lebih kompetitif.Â