Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, serta Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Tiongkok vs Korsel, Duel Baterai Rp129 Triliun di Bumi Nusantara

24 April 2025   12:20 Diperbarui: 25 April 2025   04:31 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- Battery System Assembly (BSA), baterai mobil listrik yang diproduksi PT Hyundai Energy Indonesia (HEI)(Kompas.com/Donny)

LGES berdalih bahwa kondisi pasar global sedang tidak kondusif. Permintaan kendaraan listrik melambat, terjadi penyesuaian besar di sektor industri akibat perang dagang, inflasi global, dan shifting konsumen pascapandemi. Semua itu tentu faktor yang valid. Tapi di sisi lain, dunia tak pernah benar-benar bebas dari ketidakpastian.

Yang menjadi ganjalan adalah bagaimana konsorsium LGES gagal memberikan kejelasan konkret tentang roadmap pembangunan. Dalam lima tahun, tak ada eksekusi signifikan. Pemerintah Indonesia bahkan sudah menyediakan lahan dan memfasilitasi regulasi, termasuk insentif fiskal. Tapi sayangnya, dari sisi LGES, justru terlihat inkonsistensi. Sementara negara lain seperti Vietnam dan India sudah berlari dengan komitmen penuh dari mitra investasi mereka, Indonesia justru dihadapkan pada tarik-ulur keputusan internal yang tak kunjung usai.

Muncul dugaan bahwa LGES sebenarnya sedang melakukan rekalibrasi strategi globalnya, dan proyek di Indonesia mungkin bukan menjadi prioritas utama. Ini menjadi kritik serius. Sebab dalam kerja sama strategis, mitra lokal berhak mendapatkan kepastian dan kejelasan arah. Indonesia bukan sekadar penyedia bahan baku, kita menginginkan alih teknologi, transfer pengetahuan, dan pembangunan industri hilir. LGES yang gagal memenuhi ekspektasi ini pada akhirnya kehilangan kepercayaan publik dan pemerintah.

Huayou Cobalt: Datang Cepat, Menang Cepat

Sementara LGES masih dalam fase tarik-ulur dan hitung-hitungan risiko, Huayou Cobalt dari Tiongkok tampil jauh lebih siap dan agresif. Begitu ruang kosong tercipta akibat keluarnya LGES, Huayou langsung menyatakan komitmennya untuk mengambil alih proyek. Mereka tak sekadar bicara di meja perundingan, tetapi juga menunjukkan keseriusan dengan kunjungan langsung ke Indonesia, penyesuaian rencana investasi, dan kesanggupan untuk bergerak cepat. Respons ini mendapat sambutan positif dari pemerintah Indonesia yang memang menaruh harapan besar pada ekosistem kendaraan listrik sebagai masa depan energi nasional.

Huayou bukan pemain baru di Indonesia. Perusahaan ini sudah lama terlibat dalam industri hilirisasi nikel di Sulawesi, dan telah membangun reputasi sebagai mitra yang cepat, pragmatis, dan fleksibel terhadap kebutuhan pemerintah. 

Masuknya Huayou ke proyek baterai ini bukan semata pengganti LGES, tetapi justru bisa memperkuat mata rantai ekosistem baterai dari hulu ke hilir. Dengan posisi Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, kolaborasi dengan perusahaan seperti Huayou yang memiliki kekuatan di bidang teknologi dan jaringan global akan mempercepat pencapaian target industrialisasi baterai nasional.

Tiongkok secara umum memang lebih tanggap dalam melihat dinamika geopolitik dan kebutuhan negara berkembang. Strategi Belt and Road Initiative (BRI) yang mereka dorong sejak satu dekade terakhir menjadikan perusahaan-perusahaan Tiongkok seperti Huayou sebagai alat diplomasi ekonomi. 

Mereka bukan hanya membawa uang, tapi juga teknologi, dan, yang terpenting, kepastian. Itulah sebabnya, dalam kasus ini, Huayou tidak hanya datang sebagai investor, tapi juga sebagai simbol dari ketegasan, efisiensi, dan orientasi hasil yang selama ini dicari Indonesia.

Dari Baterai ke Dominasi, Ini Lebih dari Sekadar Proyek

Proyek baterai kendaraan listrik bukan hanya soal investasi senilai triliunan rupiah, tapi cerminan dari posisi tawar dan arah strategis bangsa. Ketika Indonesia memilih untuk mengganti mitra seperti LGES dengan Huayou, itu bukan semata-mata karena alasan teknis. Ini adalah sinyal geopolitik yang kuat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun