LGES berdalih bahwa kondisi pasar global sedang tidak kondusif. Permintaan kendaraan listrik melambat, terjadi penyesuaian besar di sektor industri akibat perang dagang, inflasi global, dan shifting konsumen pascapandemi. Semua itu tentu faktor yang valid. Tapi di sisi lain, dunia tak pernah benar-benar bebas dari ketidakpastian.
Yang menjadi ganjalan adalah bagaimana konsorsium LGES gagal memberikan kejelasan konkret tentang roadmap pembangunan. Dalam lima tahun, tak ada eksekusi signifikan. Pemerintah Indonesia bahkan sudah menyediakan lahan dan memfasilitasi regulasi, termasuk insentif fiskal. Tapi sayangnya, dari sisi LGES, justru terlihat inkonsistensi. Sementara negara lain seperti Vietnam dan India sudah berlari dengan komitmen penuh dari mitra investasi mereka, Indonesia justru dihadapkan pada tarik-ulur keputusan internal yang tak kunjung usai.
Muncul dugaan bahwa LGES sebenarnya sedang melakukan rekalibrasi strategi globalnya, dan proyek di Indonesia mungkin bukan menjadi prioritas utama. Ini menjadi kritik serius. Sebab dalam kerja sama strategis, mitra lokal berhak mendapatkan kepastian dan kejelasan arah. Indonesia bukan sekadar penyedia bahan baku, kita menginginkan alih teknologi, transfer pengetahuan, dan pembangunan industri hilir. LGES yang gagal memenuhi ekspektasi ini pada akhirnya kehilangan kepercayaan publik dan pemerintah.
Huayou Cobalt: Datang Cepat, Menang Cepat
Sementara LGES masih dalam fase tarik-ulur dan hitung-hitungan risiko, Huayou Cobalt dari Tiongkok tampil jauh lebih siap dan agresif. Begitu ruang kosong tercipta akibat keluarnya LGES, Huayou langsung menyatakan komitmennya untuk mengambil alih proyek. Mereka tak sekadar bicara di meja perundingan, tetapi juga menunjukkan keseriusan dengan kunjungan langsung ke Indonesia, penyesuaian rencana investasi, dan kesanggupan untuk bergerak cepat. Respons ini mendapat sambutan positif dari pemerintah Indonesia yang memang menaruh harapan besar pada ekosistem kendaraan listrik sebagai masa depan energi nasional.
Huayou bukan pemain baru di Indonesia. Perusahaan ini sudah lama terlibat dalam industri hilirisasi nikel di Sulawesi, dan telah membangun reputasi sebagai mitra yang cepat, pragmatis, dan fleksibel terhadap kebutuhan pemerintah.Â
Masuknya Huayou ke proyek baterai ini bukan semata pengganti LGES, tetapi justru bisa memperkuat mata rantai ekosistem baterai dari hulu ke hilir. Dengan posisi Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, kolaborasi dengan perusahaan seperti Huayou yang memiliki kekuatan di bidang teknologi dan jaringan global akan mempercepat pencapaian target industrialisasi baterai nasional.
Tiongkok secara umum memang lebih tanggap dalam melihat dinamika geopolitik dan kebutuhan negara berkembang. Strategi Belt and Road Initiative (BRI) yang mereka dorong sejak satu dekade terakhir menjadikan perusahaan-perusahaan Tiongkok seperti Huayou sebagai alat diplomasi ekonomi.Â
Mereka bukan hanya membawa uang, tapi juga teknologi, dan, yang terpenting, kepastian. Itulah sebabnya, dalam kasus ini, Huayou tidak hanya datang sebagai investor, tapi juga sebagai simbol dari ketegasan, efisiensi, dan orientasi hasil yang selama ini dicari Indonesia.
Dari Baterai ke Dominasi, Ini Lebih dari Sekadar Proyek
Proyek baterai kendaraan listrik bukan hanya soal investasi senilai triliunan rupiah, tapi cerminan dari posisi tawar dan arah strategis bangsa. Ketika Indonesia memilih untuk mengganti mitra seperti LGES dengan Huayou, itu bukan semata-mata karena alasan teknis. Ini adalah sinyal geopolitik yang kuat.Â