Ilmu Ekonomi dalam Bayang-Bayang Kekuasaan
Â
Ketika Ilmu Ekonomi Tak Lagi Menjadi Kompas Tunggal
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa tarif balasan yang diberlakukan Amerika Serikat tidak mencerminkan perhitungan disiplin ilmu ekonomi bukanlah kritik biasa. Ia seperti lonceng pengingat bahwa arah kebijakan global hari ini mulai lepas dari rambu-rambu teori ekonomi yang selama puluhan tahun menjadi dasar konsensus dunia. Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Amerika, terutama di bawah kepemimpinan Donald Trump, menjadi bukti paling gamblang bahwa kalkulasi politik kini kerap mengalahkan kalkulasi ekonomi. Trump tidak bicara soal efisiensi pasar atau manfaat jangka panjang, ia berbicara tentang lapangan kerja yang kembali ke AS, tentang pabrik-pabrik yang "pulang kampung", dan tentang kemenangan simbolis melawan "eksploitasi" perdagangan global yang menurutnya merugikan Amerika.
Di sini, kita melihat gejala semakin dominannya "economic nationalism", yakni semangat menempatkan kepentingan ekonomi nasional di atas mekanisme pasar global. Narasi yang dikedepankan bukan lagi bagaimana negara bisa berperan dalam rantai pasok dunia, tetapi bagaimana negara melindungi industrinya, bahkan jika itu berarti menciptakan ketegangan dengan mitra dagang. Trump meyakini bahwa defisit perdagangan adalah bentuk kelemahan, padahal dalam teori ekonomi, defisit tak selalu bermakna negatif. Ia mengabaikan kerangka logika seperti teori keunggulan komparatif David Ricardo atau efisiensi alokasi sumber daya Adam Smith. Sebaliknya, Trump justru bertumpu pada logika persepsi publik: jika lebih banyak barang luar masuk ke AS dibanding barang yang diekspor, maka itu buruk bagi Amerika. Logika sederhana ini mungkin keliru secara akademik, tetapi kuat secara politis.
Kebijakan ini kemudian mendorong banyak negara untuk bertanya ulang: apakah disiplin ilmu ekonomi masih relevan sebagai kompas utama kebijakan? Atau kita kini hidup dalam era baru, di mana politik mengambil alih kendali narasi ekonomi? Bagi seorang ekonom murni seperti Sri Mulyani, ini adalah kemunduran. Namun bagi pemimpin populis seperti Trump, ini adalah strategi jitu untuk merebut kembali narasi "keadilan ekonomi" yang dianggap hilang dalam pusaran globalisasi. Dunia pun mulai bergeser, dari tatanan berbasis teori ke arah tatanan berbasis persepsi dan tekanan politik.
Neo-Merkantilisme dan Kembalinya Strategi Ekonomi Abad ke-18
Apa yang dilakukan Trump sesungguhnya bukan sesuatu yang benar-benar baru. Jika ditarik ke belakang, pendekatannya sangat mirip dengan praktik ekonomi merkantilisme yang mendominasi Eropa pada abad ke-16 hingga ke-18. Merkantilisme memandang kemakmuran sebuah negara berdasarkan akumulasi cadangan emas dan perak, yang diperoleh melalui ekspor sebanyak mungkin dan menekan impor. Kini, dalam versi modernnya yang dikenal sebagai neo-merkantilisme, negara-negara mulai berlomba-lomba melindungi industri dalam negeri, memaksimalkan surplus neraca perdagangan, dan menghindari ketergantungan terhadap barang luar.
Trump bukan hanya mengekspresikan kebijakan ini dalam bentuk tarif tinggi, tetapi juga secara terang-terangan menyalahkan perjanjian perdagangan seperti NAFTA atau keanggotaan AS dalam WTO sebagai "kebodohan sejarah". Ia kemudian memaksa renegosiasi berbagai kesepakatan, termasuk menciptakan perjanjian baru USMCA yang lebih menguntungkan Amerika secara sepihak. Secara akademik, pendekatan ini tidak rasional, karena ia mengabaikan efisiensi produksi dan struktur global yang telah terbentuk. Namun, dalam konteks politik domestik, pendekatan ini berhasil membangun narasi heroik bahwa "Amerika sedang membalas dendam terhadap eksploitasi global".
Kebangkitan neo-merkantilisme ini menunjukkan bahwa dalam krisis kepercayaan terhadap globalisasi, banyak negara kini kembali mengadopsi prinsip-prinsip proteksionisme. Bahkan negara-negara lain yang dahulu sangat terbuka, mulai melakukan langkah serupa. India meningkatkan tarif terhadap barang elektronik dan pertanian. Uni Eropa memperketat aturan impor untuk melindungi sektor energinya. Indonesia sendiri mengambil langkah serupa dengan kebijakan larangan ekspor bahan mentah demi memperkuat hilirisasi. Ini semua menandakan bahwa pola pikir merkantilis telah kembali menjadi alat pertahanan negara di tengah ketidakpastian global.