Mohon tunggu...
Dyah Ayu Satiti
Dyah Ayu Satiti Mohon Tunggu... -

Saat pohon dan kodok terakhir telah hilang..

Selanjutnya

Tutup

Nature

Lupa Harta Tuhan [baca: Kayu]

30 Oktober 2013   18:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:49 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dulu rangkaian log-log dari hutan ke logpond pabrik bisa sampai 2 kilometer. Bahkan lebih panjang dari kereta api yang ditempeli gerbong tambahan saat musim mudik lebaran tiba.

Dulu di dalam pabrik itu Kita susah lewat, karena tumpukan kayu beraneka rupa menyesaki pabrik yang sampai beberapa hektar luasnya.

Dulu potongan kayu seukuran paha saja sudah dijadikan bahan bakar. Log besar digergaji juga diambil yang paling bagus saja.

Dulu dari hulu ke hilir, dari pengusahaan hutan sampai industri, menghidupi beratus bahkan ribuan orang. Pabrik pun berasa ramai layaknya pasar. Orang bahu membahu mengolah kayu dan makan dari hasil kayu.

Dulu orang butuh tinggal ambil. Pabrik butuh tinggal tebang. Dirakit dengan kencang, tinggal tarik ponton, lalu tenanglah ikut mengalir gelondongan-gelondongan besar itu menyusuri kapuas.

Itu dulu ...

--------***---------

Berulang kali cerita bahagia masa lalu itu terdengar dari para pemilik pabrik, dan pemilik "hutan" yang sudah mulai menipis sekarang ini. Satu persatu mulai gulung tikar. Mengganti usahanya menjadi yang lebih menguntungkan. Tak jarang terdengar cerita pabrik A akan dijual, pabrik B menjadi kandang ayam, pabrik C hilang entah kemana.

Seiring waktu, pabrik yang luas itu semakin menyusut. Satu persatu mesin dijual. Tidak semua lokasi digunakan, hanya yang "depan" biasanya. Kayu-kayu tidak banyak tersedia. Hanya memproduksi yang menjadi permintaan pembeli saja. Pabriknya pun sudah tak ramai. Di kantornya hanya tersisa satu sampai tiga orang tenaga administrasi yang merangkap berbagai macam pekerjaan. Di bagian produksi tidak sampai dua puluh orang, itupun di dominasi wanita, kecuali bagian gergaji utama tempat menggergaji log-log kayu yang sudah menyusut ukurannya dibandingkan dulu.

Di pabrik, orang menggergaji seefisien mungkin. Jadi ingat pelajaran pengggergajian kayu di kampus, di mana diajarkan menggergaji kayu dengan rendemen setinggi mungkin, apa sanggup?? Untuk alasan efisiensi pula, pemanfaatan limbah, dsb, potongan kayu kecil-kecil pun berusaha di lem ujung-ujungnya, hingga menjadi satu kesatuan stik panjang, bahkan papan panjang dan lebar. Dan, ternyata kuat digunakan. Bahan bakar untuk mengeringkan kayu (kiln dry), juga dipilih dari limbah yang memang benar-benar sudah tidak terpakai, seperti simpiran atau pecahan-pecahan kecil.

Di hutan, orang kesusahan mencari bahan baku. Tak jarang bos-bos pabrik ini, yang pabriknya sendiri sudah tersengal-sengal hidupnya, mencari bahan baku (kayu) hingga ke pelosok-pelosok. Karena mereka tidak punya hutan sendiri. Kadang kayu di ambil dari hutan (baca: kebun) masyarakat yang memang sedang dijual kayunya, kadang memilih-milih kayu dari LC (Land Clearing) IPK yang akan dijadikan kebun sawit. Di daerah ini sawit memang semakin mendominasi. Selain lebih cepat menguntungkan, juga tidak ribet dalam beberapa hal. Sudahlah, Kita tidak sedang membahas tentang sawit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun