Mohon tunggu...
Airin ShaulaAriani
Airin ShaulaAriani Mohon Tunggu... CPNS Pusat Pembelajaran dan Stragegi Kebijakan Pelayanan Publik Lembaga Administrasi Negara

Widyaiswara di Lembaga Administrasi Negara. Tertarik pada isu-isu birokrasi, etika publik, pengembangan ASN, dan transformasi digital pembelajaran. Menulis untuk berbagi gagasan dan mendorong praktik pemerintahan yang lebih adaptif dan berintegritas.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Wamen Rangkap Komisaris, Etis atau Tidak?

18 Juli 2025   09:49 Diperbarui: 18 Juli 2025   09:49 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Fenomena rangkap jabatan wakil menteri (wamen) sebagai komisaris BUMN kembali menjadi sorotan. Pemerintahan menyatakan tidak ada konflik kepentingan dalam penempatan tersebut, sebagaimana dimuat dalam wartaalor.com (16 Juli 2025). Namun, artikel di nu.or.id memuat kritik keras dari pengamat yang menilai bahwa jabatan publik bukanlah pekerjaan sampingan. Bahkan, artikel dari suarabuana.com mengingatkan kembali Putusan Mahkamah Konstitusi No. 80/PUU-XVII/2019 yang menegaskan larangan rangkap jabatan bagi menteri dan wakil menteri. Isu ini bukan semata soal boleh atau tidak secara hukum, tetapi tentang tata kelola pemerintahan yang sehat. Bila dibiarkan, praktik ini justru dapat menggerus integritas birokrasi dan memperburuk kepercayaan publik terhadap ASN.

Legal tapi Tak Etis?

Pemerintah berdalih bahwa tidak ada aturan eksplisit yang melarang wamen menjadi komisaris. Bahkan dianggap sebagai bentuk penguatan sinergi antara kementerian dan BUMN. Tetapi, pertanyaan pentingnya adalah benarkah tidak ada benturan kepentingan? Jabatan wakil menteri merupakan posisi strategis yang membantu tugas utama kementerian. Sementara jabatan komisaris BUMN ditujukan untuk mengawasi dan memastikan keuntungan perusahaan. Ketika dua kepentingan ini menyatu dalam satu orang, risiko loyalitas ganda muncul: apakah keputusan yang diambil mewakili kepentingan publik atau kepentingan korporasi?

Putusan MK yang Diabaikan

Perlu diingat, Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019 menyebut bahwa menteri tidak boleh merangkap jabatan lain, termasuk sebagai komisaris BUMN. Meski tidak menyebut wakil menteri secara eksplisit dalam amar putusan, pertimbangan hukumnya jelas, karena wakil menteri diangkat dan diberhentikan dengan cara yang sama, maka larangan itu semestinya juga berlaku bagi mereka. Mengabaikan pertimbangan putusan MK, meski bukan pelanggaran hukum formal, adalah bentuk pengabaian terhadap semangat konstitusi. Ini berbahaya, karena membuka celah bagi praktik kekuasaan yang manipulatif dan tidak transparan.

Profesionalisme ASN yang Dipertaruhkan

ASN, termasuk wamen, seharusnya fokus penuh pada tugas negara. Merangkap jabatan berarti membagi perhatian, energi, dan tanggung jawab. Dalam praktiknya, kita tahu banyak pejabat yang terlalu sibuk duduk di banyak kursi, tapi tidak benar-benar hadir di tempat tugas. Kursi komisaris BUMN seharusnya diisi oleh profesional independen, bukan ASN aktif. Jika pejabat publik terus mendominasi posisi strategis di BUMN, maka ruang bagi talenta muda dan profesional non-pemerintah menjadi sempit. Hal ini bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi yang selalu digaungkan.

Konflik Kepentingan Itu Nyata

Rangkap jabatan bukan sekadar isu teknis, melainkan pintu masuk bagi konflik kepentingan yang bisa menjelma dalam banyak bentuk, seperti kebijakan yang berpihak, pengawasan yang lemah, hingga korupsi yang terselubung. Bayangkan seorang wakil menteri yang terlibat dalam penyusunan kebijakan sektor energi, namun juga menjadi komisaris di BUMN energi. Hal tersebut bisa saja memungkinkan keputusan kementerian dipengaruhi oleh kepentingan perusahaan tempat ia duduk sebagai komisaris. Inilah mengapa banyak negara memisahkan secara tegas antara pengambil kebijakan dan pelaksana bisnis negara.

Apa yang Harus Dilakukan?

Pertama, regulasi harus diperjelas dan dipertegas. Pemerintah perlu merevisi peraturan terkait larangan rangkap jabatan, termasuk mempertegas posisi wakil menteri dalam konteks putusan MK. Kedua, ASN yang menduduki jabatan strategis harus memilih, apakah ia ingin bekerja penuh untuk negara, atau mengundurkan diri dan masuk ke ranah BUMN. Ketiga, semua pejabat publik seharusnya diwajibkan mengumumkan jabatan rangkapnya, termasuk penghasilan, agar bisa diawasi secara terbuka dan transparan. Keempat, perlu lembaga pengawasan independen untuk memantau dan menindak potensi konflik kepentingan, termasuk pada level eksekutif dan BUMN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun