Mohon tunggu...
Ainur Rohman
Ainur Rohman Mohon Tunggu... Nelayan - Pengepul kisah kilat

Generasi pesisir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dipaksa Diam

3 November 2018   20:12 Diperbarui: 3 November 2018   21:37 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Burung Bangau Di Bulan Oktober

"Hai...! Kau burung kerdil! Jutaan tahun nenek-moyang kami telah berkuasa di rimba belantara ini, dan perlu kau tahu, manusia-manusia itu biasanya kami terkam jikalau mereka masuk ke hutan, untuk apa mesti khawatir. Kau burung pandai bicara. Mau menipu raja singa. Ha-ha-ha.... Tak bisa."

Tanpa aba-aba. Sapari mengepak-ngepakkan sayapnya dengan tergesah-gesah, terbang dan melayang ke arah utara. Tanpa pamit atau membalas ucapan sang raja singa.

"Akhirnya kau takut juga, dasar burung sombong. Pergi tanpa unggah-ungguh lebih dulu. Celakalah kau beserta anak cucumu." Umpat dan kutuk raja singa ke burung dara yang telah pergi jauh dari pandangan.

Daun-daun di setiap dahan dan ranting pohon tak bergerak, mendadak seisi hutan sunyi, senyap, diam dalam cekam. Gebyar desing peluru melesat terbang mencari sasaran sedapat-dapatnya, suara bedil menggelegar di pinggiran hutan. Jerit suara mesiu berlomba-lomba, desak-mendesak ke dalam rimba belantara, gelegar suara pedil merangsek menerobos tembok semak belukar, menyergap masuk ke dalam hutan.

Tubuh raja singa terdiam, gerak kaki-kakinya terpaku, seakan-akan ada beban maha berat yang menimpa seluruh badannya. Dan rakyatnya lebih-lebih linglung, kawanan singa bingung, tak tahu meski harus berbuat apa. Dalam hati mereka bertanya-tanya. "Suara apa itu..?" Gumam batin setiap singa.

Derap langkah kuda berderu, membelah rimba hutan belantara. Mengangkangi keperkasaan dan keagungan kerajaan singa. Tak lama kemudian kawanan singa melihat puluhan manusia berkuda lengkap dengan senjata senapan di tangan.

Satu--dua--tiga singa apes terkena peluru, terkapar! meregang nyawa. Raja singa dan rakyatnya takut bukan buatan, kawanan singa lari tunggang langgang, berhamburan ke segala penjuru arah. Lari sekencang-kencangnya, dengan sekuat tenaga berusaha menghindari peluru hasil tembakan manusia yang begitu semangat memburu mereka.

Beruntung sang raja singa mampu menghindar dari kejaran manusia, lari masuk ke dalam hutan yang jarang dilewati oleh kawanan singa. Langkahnya terseok-seok. Malang kaki sebelah kiri raja singa tidak beruntung, sebutir peluru bersarang di dalam dagingnya. Berjalan lambat terhuyung-huyung, batinnya mengumpat dan memaki-maki. Dalam hatinya masih ingin sekali berontak, merasa jiwa kesatrianya luntur terkoyak-koyak tuntas.

Dalam keadaan lemah tak berdaya, raja singa berhenti melangkahkan kaki, terdiam di bawah pohon meranti, jiwa rajanya meluapkan amarah, tekadnya terbakar dan masih ingin menyerang balik kawanan manusia, mengembalikan kuasa dan wibawanya seperti pada masa jayanya beberapa menit yang lalu.

Tapi kini tubuhnya luruh, kekuatannya hilang, aumannya tak lagi menciutkan nyali setiap hewan di hutan, apalagi manusia. Dalam keadaan pasrah yang terpaksa, sekelebat matanya melihat sesosok bocah kecil di atas kuda, lengkap dengan senapan di tangan kanannya.

"Gawat." Kata batinnya senyap, dalam situasi darurat tak ingin suara batinnya sampai terdengar oleh manusia, jiwanya terancam. Hanya berjarak selemparan batu, bocah kecil itu kini tampak nyata di depan mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun