Dering telepon berbunyi, (29/10/2018) terpangpang jelas nama sobat karibku, Suki. aku sebenar-benarnya malas mengangkat telepon sepagi ini. Waktu itu tepat pukul 01.40 WIB.
Panggilan telepon itu aku terima dan suara setan bengkorengan di seberang sana terdengar oleh telinga. "Apa yang aku pikirkan saat ini? Aku lemah dan mau selesai, berkali-kali aku lelah mencoba menyelesaikan apa yang aku sendiri tak pandai memahami apa yang sebenarnya terjadi?" keluh kesah Suki dini hari saat itu.
"Sebenarnya apa yang mau kau selesaikan?" Jawabku pelan, sengaja aku memelankan suara. Sambil berharap setan yang ada di sana tidak mendengar apa yang aku katakan.
"Berdamai, maksudku mencoba kompromi dengan kenyataan yang berlaku, nyata-nyatanya tak juga memperbaiki apa yang aku kira akan lebih baik. Bisa jadi aku yang tidak bisa dengan mudah menerima, maksudku setiap alur drama-drama cengeng yang sudah terjadi." Suara makhluk aneh di ujung telepon itu memelas.
Aku bahkan lupa dan kami berdua memang belum sempat mengucapkan kalimat sapaan basa-basi "Hallo" atau salam. Tapi dia, maksudku si Suki sudah lebih dulu nyerocos, bocor dan meracau, bukan maksudku menggerutu, ah, bukan juga, lebih mirip suara kecoa yang menggonggong dengan sendu.
"Apa ada yang salah kawan! dengan segala hormat, tanpa sedikitpun mengurangi rasa empati, tak bisakah percakapan ini kita tunda, kau boleh melanjutkannya siang atau nanti malam sambil merasakan sepetnya Teh hangat." Aku membalas celoteh Suki dengan malas-malasan.