Aku terhenyak. Seolah baru terbangun dari lamunan  dan menatap sekitar sambil bertanya dalam hati, "Negeri macam apa ini?"
Kabar yang berseliweran akhir-akhir ini sungguh membuat dada sesak: seorang kepala sekolah bernama Dini Fitria, perempuan dengan karakter kuat dan rasa tanggung jawab tinggi, dilaporkan ke polisi dan bahkan dinonaktifkan, hanya karena menegakkan disiplin pada siswanya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah.
Yang lebih menggelikan sekaligus menyedihkan, para siswa justru mogok massal sebagai bentuk dukungan terhadap temannya yang merokok. Dan yang membuatku tak habis pikir, beberapa guru malah memberi testimoni bahwa Bu Dini temperamen!
Dunia pendidikan macam apa yang sedang kita jalani ini?
Analisis demi analisis bermunculan: sekolah itu rupanya sudah menjadi "zona nyaman" bagi perokok guru dan siswa seolah satu kubu.
Aku tak bisa diam. Dalam keheningan sore, aku mencoba membayangkan sosok Bu Dini duduk di hadapanku, lengkap dengan tatapan tegas tapi teduh. Maka, kuawali wawancara imajiner ini.
Aku:
Bu Dini, saya salah satu orang yang sangat berempati pada situasi Ibu. Tentu peristiwa ini membuat Ibu terbebani, bahkan mungkin tertekan?
Bu Dini:
(tarik napas pelan, lalu tersenyum tipis)
Saya melakukan tindakan itu dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab. Tidak ada beban, tidak ada tekanan. Saya tahu setiap langkah yang benar pasti punya risiko. Tapi kalau kita yakin tujuannya baik, kenapa harus takut?
Aku:
Banyak pihak menilai tindakan Ibu terlalu keras. Mereka bilang Ibu temperamen, emosional. Apa tanggapan Ibu?
Bu Dini:
Saya paham anggapan itu. Tapi sebagai pendidik, kami punya ukuran dan intuisi tersendiri dalam menegakkan disiplin. Tidak semua siswa bisa dihadapi dengan cara yang sama.
Ada yang cukup diberi tatapan, ada yang cukup dinasihati lembut, ada pula yang harus ditegur keras, bahkan dicubit sedikit, agar mereka terhentak dan sadar.
Disiplin bukan tentang marah, tapi tentang tanggung jawab membentuk karakter.
Aku:
Sekarang Ibu dinonaktifkan dari jabatan kepala sekolah. Apakah Ibu merasa kecewa atau keberatan?
Bu Dini:
(tersenyum lebar kali ini)
Justru saya bersyukur. Artinya, apa yang saya lakukan belum bisa diterima semua orang dan itu wajar. Beban saya kini lebih ringan. Tapi misi mendidik tak pernah berhenti hanya karena jabatan.
Aku:
Setelah kejadian ini, apakah Ibu akan surut langkah? Mungkin jadi cuek, merasa tak didukung oleh teman sejawat atau pihak dinas?
Bu Dini:
Tidak. Saya bekerja dengan kesadaran penuh dalam ruang lingkup saya sebagai pendidik.
Saya akan terus menanamkan nilai disiplin dan tanggung jawab, meski di lingkup yang lebih kecil. Karena dua hal itulah yang jadi kunci kesuksesan seorang anak, bukan nilai akademik semata.
Aku:
Pertanyaan terakhir, Bu. Ibu sekarang dipolisikan. Andaikan hanya andaikan Ibu benar-benar sampai masuk penjara, apa yang ingin Ibu sampaikan?
Bu Dini:
(hening sejenak, lalu berbicara pelan tapi tegas)
Hidup ini titah dari Allah. Apa pun yang terjadi, harus dijalani dengan lapang dada.
Selama kita memegang amanah dan berusaha memberi yang terbaik, itu sudah cukup. Pengabdian tidak selalu butuh panggung, kadang justru diuji dalam kesunyian.
Aku:
Kalau begitu, apa pesan Ibu untuk murid-murid yang dulu Ibu didik?
Bu Dini:
(mata berkaca-kaca)
Anak-anakku... kalian semua sangat Ibu sayangi. Kalau Ibu pernah marah, cerewet, atau bahkan mencubit, itu bukan karena benci.
Ibu hanya ingin kalian sadar bahwa hidup bukan untuk disia-siakan. Ibu ingin suatu hari nanti kalian bisa tersenyum bangga di hadapan orang tua kalian. Dan kalau hari itu tiba, percayalah... Ibu akan tersenyum paling bahagia di dunia.
Seketika, suasana hening. Bayangan Bu Dini perlahan memudar dari pandanganku, meninggalkan aroma keteguhan dan ketulusan yang sulit dijelaskan.
Aku termenung. Mungkin benar, di tengah dunia pendidikan yang mulai kabur batas antara benar dan salah, kita butuh lebih banyak sosok seperti Bu Dini yang berani tegas karena cinta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI