"Segera, nunggu waktu yang tepat." kata Jono yakin.
Karim hanya bisa menepuk bahu sahabatnya. "Mantap, kang, Â Aku doakan lancar."Padahal, hatinya mendadak sesak, sebab Raras, diam-diam juga gadis yang ia kagumi.Â
Beberapa hari kemudian, Karim berjalan sendirian menyusuri jalan desa. Angin sore mengibaskan daun pisang, aroma bunga tebu semerbak, ia sedang melamun hingga hampir saja bertabrakan dengan sosok yang muncul dari persimpangan.
"Walah, kang! Mbok ya jalan lihat ke depan, jangan nunduk wae." suara Raras riang.
Karim langsung blingsatan. "Eee... jeng Raras, maaf, aku keburu-buru."
Raras tersenyum sambil melangkah di sisinya. "Biasane sama kang Jono, kok sekarang sendirian?"
Karim menghela napas. "Entahlah, mungkin dia lagi nyiapin sesuatu..."
"Nyiapin apa toh, kang? Ayo, bilang wae!" Raras menatap dengan mata bening, membuat jantung Karim berdentum tak karuan.
Spontan, keluar kata-kata yang membuatnya sendiri kaget. "Nyiapin nglamar kamu." Ucapnya sambil tertawa, mencoba mengalihkan suasana.
Raras terdiam sejenak, lalu tersipu. "Bener, kang?" tanyanya lirih. Ada cahaya bahagia di matanya.
Karim tak menjawab, hanya tersenyum samar, dalam hati ia berharap Raras akan menampik. Tapi gadis itu justru menunduk malu, seolah menunggu kabar baik.