Di desa kecil yang dikelilingi hamparan sawah menghijau, tinggal seorang gadis ayu bernama Raras. Rambutnya hitam panjang, matanya bening seperti embun pagi, dan senyumnya selalu hangat menyapa siapa pun yang ditemuinya. Ia bukan tipe gadis yang suka berdandan berlebihan, tapi kecantikannya justru terpancar alami, seakan-akan alam desa sendiri menitipkan pesona di wajahnya.
Raras terbiasa mandi di sungai yang jernih, membantu ibunya di dapur, dan tak sungkan ikut bekerja di sawah saat musim panen. Wajar saja bila banyak pemuda desa yang terpesona. Namun, dari sekian banyak yang menaruh hati, Raras sebenarnya hanya menimbang dua: Jono dan Karim. Baginya, keduanya sama-sama pekerja keras, sama-sama bertanggung jawab, dan sama-sama sederhana, Raras berprinsip, siapa yang lebih dulu menyatakan cinta dengan kesungguhan, itulah yang akan ia terima.
Sore itu, matahari mulai turun ke peraduan, memerah di balik perbukitan. Jono dan Karim berjalan beriringan di pematang sawah setelah seharian bekerja, bau tanah basah bercampur dengan suara jangkrik yang mulai terdengar.
"Kang, kamu masih santai aja to? Belum kepikiran punya istri?" tanya Karim sambil mengibaskan capingnya yang penuh debu.
Jono hanya tersenyum kecil. "Hem... hemm..." Ia tak menjawab, sengaja ingin memancing Karim agar bercerita.
Karim menatap langit yang mulai oranye. "Aku tuh kadang mikir, mampu apa nggak ya ngasih nafkah kalau punya istri, sawah cuma segini, kerja keras tiap hari, tapi ya syukur-syukur cukup buat makan."
Jono akhirnya buka suara. "Kalau aku... sebenarnya sudah ada calon, tinggal nunggu waktu yang tepat aja."
Karim menoleh cepat. "Lha, siapa toh kang ? Kok nggak pernah cerita."
"Raras." jawab Jono mantap.
Karim tercekat, dadanya berdegup kencang, ia berusaha menyembunyikan perasaannya, lalu tersenyum lebar. "Wouw... setuju! Setuju! Kapan kamu mau melamarnya?"