Indonesia hari ini bukan sedang pilek ringan yang bisa sembuh dengan obat warung dan tidur siang. Tidak. Indonesia sedang terbaring di ranjang rumah sakit dengan penyakit kronis stadium akhir, dari ujung kepala hingga telapak kaki. Dan ironisnya, alih-alih dirawat dengan kasih sayang, pasien bernama Indonesia justru ditertawakan oleh mereka yang seharusnya jadi dokternya. "Ah, masih sehat itu," kata penguasa sambil berjoget ria, seakan alarm bahaya hanyalah suara toa ronda yang bisa dikecilkan volumenya.
Suara peringatan, entah dari aktivis, mahasiswa, akademisi, atau rakyat biasa tak lebih dianggap sebagai dengungan nyamuk di telinga. "Cerewet amat, bangsa ini baik-baik saja kok," begitu kira-kira jawaban mereka sambil menepuk dada penuh kepongahan. Kritik dibalas dengan senyum sinis, bahkan kadang dengan tawa terbahak-bahak, seolah penderitaan rakyat hanyalah bahan stand-up comedy.
Mungkin nanti akan ada lomba resmi: Stand-up Korupsi: Ketawa Bersama di Tengah Penderitaan.
Sakit Apa Indonesia?
Jika ada dokter yang mau jujur, diagnosisnya jelas: Indonesia terkena komplikasi akut. Bukan cuma satu penyakit, tapi sindrom lengkap.
Pertama, ketidakadilan: hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Rakyat kecil mencuri sebutir semangka bisa dipenjara bertahun-tahun, sementara pejabat mencuri uang rakyat miliaran hanya perlu senyum di depan kamera dan bebas dengan alasan "khilaf."
Kedua, ketimpangan sosial-ekonomi: segelintir orang kaya hidup di menara emas sambil menonton rakyat berdesakan di bawah, berebut remah roti basi. Oligarki bukan hanya menguasai ekonomi, tapi juga pikiran kita.
Ketiga, korupsi massal: seperti pesta pora yang sudah mendarah daging. Jika ada perlombaan siapa negara dengan kreativitas paling tinggi dalam mencuri uang rakyat, Indonesia mungkin masuk daftar juara dunia.
Keempat, politik dinasti: seolah negara ini perusahaan keluarga yang diwariskan dari bapak ke anak, dari kakak ke adik, dari mertua ke menantu. Demokrasi hanya papan reklame, isinya jualan kekuasaan keluarga besar.
Rakyat hanya dianggap latar belakang dekoratif: berfungsi saat Pemilu, dipanggil untuk selfie massal, lalu dilupakan begitu kursi empuk kekuasaan berhasil diduduki. Mungkin di masa depan, rakyat tidak perlu lagi datang ke TPS. Cukup kirim foto KTP, lalu penguasa akan langsung menuliskan hasilnya sesuai kebutuhan.
Rakyat Bergerak
Namun, keterhimpitan ada batasnya. Rakyat yang dicekik biaya hidup, dikejar utang, dan disuguhi tontonan pejabat berpesta lama-lama tidak tahan. Teriakan pun pecah: bukan sekadar keluhan, tapi ledakan. gerakan lahir, menuntut perbaikan sistem.
Tapi, seperti biasa, tuntutan dianggap sebagai ancaman, dan rakyat yang marah dituduh anarkis. Pertanyaannya: siapa sebenarnya yang memulai kekacauan? Apakah rakyat yang lapar, atau penguasa yang menutup telinga sambil berjoget?
Sejarah mengajarkan, api kemarahan rakyat bisa membakar istana. namun entah mengapa, para penguasa selalu merasa kebal. mereka percaya tembok tinggi dan pasukan bersenjata bisa menahan gelombang rakyat. padahal, kalau rakyat sudah benar-benar bangkit, tsunami itu tidak bisa dihentikan hanya dengan pagar kawat berduri.
Rakyat Diam, Tapi Bukan Pasrah
Pada akhirnya, rakyat tidak bodoh. Mereka memang bisa diam, bisa mundur, bisa menahan diri. tetapi diam bukan berarti mati. diam adalah jeda. Rakyat sedang mengamati, menunggu, dan menyiapkan energi. dan ketika saatnya tiba, mereka bisa bergerak lagi dengan kekuatan yang lebih besar.
Sampai hari ini, para penguasa masih bisa tertawa, masih bisa berjoget. Tapi ingatlah: pesta pora di atas luka hanya bisa bertahan sebentar. Setelah itu, musik akan berhenti, lampu pesta padam, dan yang tersisa hanya rakyat yang menagih janji---dengan cara yang mungkin tak lagi ramah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI