Mohon tunggu...
Aiman Witjaksono
Aiman Witjaksono Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan TV

So Called Journalist

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

"Real Count" Lawan "Quick Count"

27 April 2019   09:58 Diperbarui: 27 April 2019   10:23 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ada klaim kemenangan dilakukan. Dasarnya dua hal yang berbeda. Hitung cepat dan Hitung manual versi Internal kandidat. Sementara penghitungan manual KPU masih berjalan. Apa perbedaan "hitung cepat" dan "hitung nyata" di lapangan?
Aiman membuka tabir kedua penghitungan.

Antara BPN & Lembaga Survei

Pada Pemilu - Pemilu dan juga Pilkada - Pilkada sebelumnya, hasil hitung cepat digunakan sebagai hasil untuk menentukan keunggulan. Meski kemenangan tetap diputuskan setelah ada hasil resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Sabtu (20/4) lalu, sejumlah lembaga survei membuka data mereka dalam melakukan hitung cepat, setelah dituding melakukan kebohongan oleh Capres 02 Prabowo Subianto saat orasi ke para pendukungnya di kediaman Pribadi di Jalan Kertanegara, Jakarta, Jumat (19/4).

"Hei tukang bohong, rakyat tidak percaya sama kalian. Mungkin kalian harus pindah ke negara lain. Mungkin kau bisa pindah ke Antartika... Mungkin kalian tukang bohong lembaga survei, bisa bohongi penguin-penguin di Antartika. Indonesia sudah tidak mau dengar kamu lagi," kata Prabowo.

Menanggapi hal ini, sehari kemudian, sejumlah lembaga survei yang tergabung dalam Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) buka-bukaan. Sejumlah lembaga survei tersebut antara lain Indo Barometer, Charta Politika, Indikator Politik Indonesia, Poltracking, LSI Denny JA, Cyrus Network, CSIS, Populi Center, dan SMRC. 


Mereka membuka data penelitian mereka sembari menantang kubu BPN Prabowo-Sandi untuk membuka data internal mereka yang menyebut kemenangan Prabowo sebanyak 62 persen dari penghitungan 320 ribu TPS. Polemik inipun masih bergulir hingga kolom ini muncul.

"Saya tidak mengerti mengapa politisi ini anti-sciencepadahal kita ingin ke depan Indonesia maju seperti negara lain. Kalau menolak hasil dari proses yang ilmiah Ini, apakah kita sedang bunuh ilmu pengetahuan?" kata Ketua Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Hamdi Muluk, Sabtu (20/4).

Lalu bagaimana proses penghitungan saat ini? Saya mencoba mengurainya.

Apa itu Hitung Resmi KPU?

KPU melakukan jenis penghitungan nyata dari formulir model C1 dan C1 Plano. Formulir Model C1-Plano terdiri terpisah, antara setiap hasil penghitungan kertas suara. Misalnya untuk Pemilihan Presiden, hasil penghitungan suara di sebuah Tempat Pemungutan Suara (TPS), ditulis menggunakan formulir model C1 Plano-PPWP atau hasil rekapitulasi penghitungan suara total Pemilu Presiden dan Legislatif. 

Sementara Formulir C1 adalah catatan hasil penghitungan suara total dari seluruh jenis kertas suara. Jadi angka perolehan Pilpres, DPR, DPRD, dan DPD, ada di formulir model C1 ini. 

Pada Pemilu tahun 2019 ini, hasil formulir - formulir penghitungan suara ini, setelah dari TPS langsung dilakukan rekapitulasi dari mulai tingkat Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, hingga KPU Pusat (pada pemilu sebelumnya, dilakukan mulai dari tingkat Kelurahan).

AIMAN di Proses Rekapitulasi Suara Tingkat Terbawah
Program AIMAN melakukan pengamatan langsung di salah satu kecamatan di Jakarta, yakni Palmerah, Jakarta Barat. Proses penghitungan di sana baru berlangsung selama 2 hari. Melelahkan karena proses rekapitulasinya dilakukan dari pukul 8.00 pagi hingga persis 00.00 tengah malah. Dan dilakukan selama 10 hari berturut - turut, dengan target hingga 28 April 2019. Saya melihat sendiri bagaimana proses dilakukan, satu persatu hasil TPS dibacakan kembali. 

Jika ada ketidaksesuaian maka dicocokan dengan C1-Plano. Menurut Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan Koesbandi, Formulir C1-Plano menjadi bukti bahwa kecurangan di tingkat Kecamatan bisa dicegah. Karena dari C1-Plano ini, disetujui dengan saksi yang berada di tiap Tempat Pemungutan Suara sebelum disahkan dan dilakukan rekapitulasi di Kecamatan. 

Dari Kecamatan proses rekapitulasi akan dilanjutkan ke Kota Jakarta Barat, lalu Provinsi DKI Jakarta, hingga terakhir bermuara di KPU Pusat. Proses Cek dan Ricek dilakukan di tiap titik ini, sebelum akhirnya diumumkan KPU selambatnya pada 22 Mei 2019.

Apa itu Hitung Cepat?
Itu adalah hasil penghitungan resmi KPU. Lalu bagaimana dengan hitung cepat yang dalam waktu sekitar 2,5 jam pasca TPS ditutup, kandidat yang unggul sudah bisa ditentukan?

Hitung cepat melakukan pengamatan dari titik - titik TPS yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Untuk populasi Indonesia yang memiliki lebih dari 190 juta pemilih dan 813 ribu lebih TPS di seluruh Indonesia, maka setidaknya untuk mendapatkan keakuratan yang cukup baik, dari tingkat kesalahan dari hasil KPU nanti di bawah 1 persen, setidaknya 1200 sampel TPS harus dilakukan pencatatan yang sampelnya dipilih atas metode tertentu yang biasa dilakukan (saya akan jelaskan nanti apa yang dicatat dan bagaimana proses penghitungannya).

Namun sejumlah lembaga survei, bahkan bukan hanya melakukan proses hitung cepat dengan 1200 sampel, melainkan 2000 bahkan hingga 6000 sampel. Hal ini untuk memperkuat hasil yang akan mendekati pada hasil resmi KPU nanti saat diumumkan.

Para peneliti melakukan pendataan saat di TPS pada formulir modek C1-PPWP, dan kemudian hasilnya disetor ke pusat data lembaga survei. Jika suara masuk dari seluruh sampel TPS sudah diatas 70 persen, maka biasanya pergerakan grafik alias perubahannya landai dan tidak signifikan. 

Di sinilah sejumlah lembaga survei berani menyimpulkan siapa yang unggul dari sebuah pemilihan, meski selalu disertai "disclaimer" bahwa tetap harus menunggu hasil resmi dari KPU.

Apa Gunanya Hitung Cepat?
Lalu untuk apa hasil hitung cepat? Hasil hitung cepat dilakukan selama belasan atau bahkan puluhan kali pada saat pemilihan baik di daerah maupun di pusat, sejak 3 pemilu sebelumnya. Lalu bagaimana hasilnya?

Kuncinya dua, pertama pengambilan TPS sampel yang tepat, dan kedua jumlah sampel. Hasilnya, setiap kali Quick Countalias hitung cepat yang dilakukan, hasil akhirnya tidak pernah melebihi angka 1 persen. Bahkan Litbang Kompas dalam Pilkada DKI Jakarta lalu hanya memiliki selisih perbedaan 0,04 persen dari hasil KPU.

Pada Hasil quick count Pilkada DKI Putaran II pada 19 April 2017 misalnya, simpangan rata-rata alias selisih hanya 0,04 persen dibanding hasil KPU. Saat itu, hasil quick count Kompas, pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat memperoleh 42 persen dan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memperoleh 58 persen. Sementara hasil akhir KPU, Basuki-Djarot mendapat 42,04 persen dan Anies-Sandi 57,96 persen.

Sumber: Membandingkan Hasil "Quick Count" Litbang Kompas dengan KPU Sejak 2007


Meski tak pernah melebihi selisih angka lebih dari 1 persen suara, menunggu hasil resmi KPU selalu digemakan. Karena memang hitung cepat alias Quick Countbukanlah hasil resmi. Melainkan hasil bayangan dari produk survei yang hasilnya sangat mendekati dengan hasil KPU, dan dibuktikan melalui sejarah perjalanan puluhan kali dari sejumlah lembaga survei kredibel.

Bagaimana dengan anda?

Saya Aiman Witjaksono

Salam!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun