Mohon tunggu...
NIA
NIA Mohon Tunggu... Penulis - Finding place for ...

- Painting by the words

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Satu dari Sekian

7 Maret 2021   07:07 Diperbarui: 13 Juni 2022   00:27 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : Sofi/https://id.pinterest.com/pin/126382333285225891/

‘PRANG!’

Sepasang mata pemuda ber-hoodie hitam terbuka. Dari rooftop lantai tiga tempatnya berdiri, terlihat pemulung tua sedang mengais bak sampah di tepi jalan. Tak jauh darinya, ada penutup besi yang tergeletak usai berbenturan dengan trotoar hingga menimbulkan suara keras.

Pemuda itu terus mengamati di bawah sana, seraya menapakkan kembali kaki yang telah terangkat di udara pada lantai. Si pemulung kini sedang menyantap nasi bungkus sisa hasil temuan di tempat sampah. Setelah menuntaskan makannya, ia pergi sambil memikul karung.

Si pemuda pun menghela napas yang semakin hari terasa berat. Sekali lagi, ia memutuskan untuk bertahan pada hidupnya. Ia segera menyeka air di matanya, lalu berjalan menuju tangga di samping tandon air. Tiba dia lantai pertama, seorang pria menyambutnya dengan senyuman sinis.

“Berencana untuk mengakhiri hidup lagi?” Pria itu melebarkan senyuman mengejek seraya berkacak pinggang.

“Raka, Raka... apa sih yang kurang di hidupmu? Tampang oke, duit ada, orang tua kaya raya, pengen sesuatu tinggal beli. Coba lihat aku! Harus banting tulang dan kerja di banyak tempat untuk bayar kuliah dan kebutuhan pribadi. Tiap bulan ditagih bayar kosan, ditagih bayar utang. Hidupku ini lebih berat dari punyamu, tapi aku tetap semangat!”

Raka—pemuda ber-hoodie hitam itu tersenyum samar. “Aku cuma nyari angin di atap,” sangkalnya, lantas segera membantu beres-beres, mulai dari cuci gelas piring, merapikan letak meja kursi, mengepel, lalu bersiap pulang.

Di perjalanan pulang, Raka bertemu dengan Fara, teman kuliah. Keduanya pun jalan kaki bersama sembari menikmati udara malam.

“Kalau ada masalah, cerita aja ke aku. Jangan sungkan,” ucap Fara menyadari Raka terlampau diam. Raka mengangguk dan menggumam. Hingga langkah keduanya tiba di depan kosan Fara.

“Raka, aku boleh pinjam uang lagi nggak? Kali ini, aku akan berusaha untuk balikin.”

“Pinjam berapa?” Fara mengatakan nominal uang yang dibutuhkan. Raka segera mengambil dompet dari dalam ransel, mengeluarkan beberapa lembaran uang seratus ribu dan menyerahkannya kepada Fara.

“Tanganmu kenapa?” Fara menarik tangan kiri Raka, mengamati pergelangan berbalut kassa yang sejak tadi terhalang lengan baju.

Raka menarik tangannya dari genggaman Fara. “Uangnya nggak perlu dibalikin,” ujar Raka mengalihkan pembicaraan.

“Kamu nggak....” Fara membuang napas kasar. Sorot matanya menatap tajam ke arah Raka yang menunduk.

“Harus berapa kali sih aku bilang ke kamu? Jika kamu mati dengan cara itu, kamu akan mati nggak berguna! Hilangkan pikiran gilamu itu, Raka! Ada banyak orang kesusahan di luar sana, tapi masih bisa menghargai hidupnya!”

“Far, aku nggak tahu harus—“

Stop! Aku nggak mau dengar alasan apapun darimu. Lebih baik kamu pulang dan merenungkan perbuatanmu. Aku capek, mau istirahat!” Fara segera masuk ke dalam kosan.

Raka tersenyum miris. Bukankah gadis itu sendiri yang berpesan untuk jangan sungkan menceritakan masalah apapun padanya?

Di kamar kos, Raka berbaring dan masih terjaga. Meski raganya terasa lelah karena bekerja seharian selama cuti kuliah, ia tidak mampu untuk terlelap. Tepatnya, takut untuk pergi ke alam mimpi. Berulang kali napasnya memburu seolah beradu kecepatan dengan degup jantungnya sendiri setiap mendengar suara pintu terbuka, lalu melirik ke arah pintu kamarnya yang terkunci. Hal semacam itu telah terjadi lebih dari tiga bulan.

Raka telah mencoba beragam cara untuk mengatasinya, mulai dari mengikuti tips kesehatan seperti ini dan itu untuk meredakan kegelisahan, hingga bertemu ahli psikologi. Namun, mengonsumsi makanan yang disarankan di internet tak membantu apapun. Dua kali menemui dokter ahli psikis pun hanya diresepkan obat tanpa sambutan yang ramah, sehingga Raka juga tidak tertarik dan percaya untuk menelan obat pemberian dokter itu.

Suatu ketika, Raka memutuskan untuk berkunjung ke puskesmas. Pekerja medis yang tahu tujuannya bertemu dengan psikolog terlihat memasang wajah mengejek. Beberapa dari mereka lalu memberi nasihat diselingi candaan. Suara mereka begitu keras, membuat pasien lain ikut mendengar dan turut serta berbagi kata-kata mutiara.

‘Hidup itu memang berat. Kamu sebagai laki-laki harus kuat!’

‘Tidak ada masalah yang terjadi tanpa disertai solusi. Banyak-banyak berdoa, pasti Tuhan akan menolongmu.’

‘Mungkin kamu kurang sembayang, makanya hatimu tidak tenang.’

‘Kamu kurang bersyukur, Nak. Lihat sekelilingmu, masih banyak yang kesusahan dan bertahan hidup. Itu cara agar bisa bersyukur.’

‘Coba cari pasangan! Mungkin kamu kesepian karena masih sendiri. Apa perlu saya bantuin cari jodoh? Hahahaha.’

Raka tidak tahu lagi bagaimana cara untuk menjadi baik. Semakin hari ia kian terpuruk karena menanamkan kata ‘aku baik-baik saja’ dalam diri. Hingga puncaknya, ia memilih untuk mengakhiri hidup. Sudah dua kali percobaan dan gagal.

Hari berganti lagi. Tetapi suasana yang menyelubungi diri Raka sama saja. Suram. Tak berbentuk. Sulit dilukiskan. Satu bulan dilalui Raka bagai seribu tahun lamanya, tanpa harapan. Hanya berdoa kelak Tuhan berbaik hati mau membebaskan hidupnya, mungkin dengan cara memotong usianya.

Setiap malam, Raka merenung di rooftop dan melihat pemulung yang sama dengan tempo lalu, melakukan hal yang sama pula, dengan sikap tak jauh berbeda. Satu minggu berlalu, Raka melihat pemulung itu lagi dan mengambil sikap baru. Ia segera turun ke lantai dasar, mengambil jatah nasi kotak miliknya dan keluar menemui pemulung yang sibuk memilah sampah.

Gerakan tangan si pemulung terhenti tatkala Raka menyodorkan nasi kotak. Si pemulung pun tersenyum menatap Raka.

“Untuk Nenek?”

Raka mengangguk.

Pemulung yang berusia renta mengulurkan tangan, menerima nasi kotak dengan lauk ayam goreng yang masih utuh. “Terima kasih.”

Raka tidak menjawab. Hanya memberi anggukan, lalu melangkah pergi.

“Tunggu, Nak.” Nenek itu menahan Raka dan menghampirinya. Ia mengamati wajah sendu Raka sambil tersenyum.

“Kamu sudah makan?”

“Saya sudah makan.”

“Apa kamu bekerja di sana?” Nenek menunjuk cafe di depannya yang terdapat tulisan “CLOSE/ TUTUP”.

“Iya.”

Nenek mengangguk-angguk, lalu meraih lengan Raka. “Bolehkah Nenek meminta sesuatu yang lain?”

Raka mengangguk menyanggupi.

Nenek menunjuk karungnya yang tersandar di bak sampah. “Hari ini, karung Nenek lebih berat dari biasanya. Nenek kesulitan memikulnya. Apa boleh Nenek minta tolong dibawakan?”

Raka bimbang. Bukan karena tidak mau membantu, namun ia masih perlu membersihkan cafe.

“Nenek akan tunggu kamu pulang kerja. Tujuan Nenek juga tidak jauh. Eh, hmm....” Si Nenek nampak berpikir, lalu mengangkat dua jari. “Dua kilometer dari sini.”

Raka menghela napas. “Nenek tunggu di sini.” Si Nenek mengangguk bahagia dan duduk di trotoar menanti Raka menuntaskan pekerjaan. Tiga puluh menit berlalu, Raka kembali. Ia membawa karung milik nenek pemulung itu, yang ternyata tidak begitu berat dan mengantarnya ke tempat tujuan.

Langkah kecil Raka dan nenek berhenti di sebuah tempat pembuangan sampah yang menimbulkan bau tak sedap. Tak jauh dari sana, ada tenda dari bentangan kain seadanya dengan tiga anak usia TK sedang bermain di depan tenda tersebut. Mereka bersorak ketika Si Nenek memberikan sebungkus nasi kotak.

“Itu cucu-cucu Nenek,” jelas wanita tua dengan santai. Ia dan Raka duduk bersila beralas tanah di luar tenda.

“Kamu sepertinya sedang sedih. Ada masalah yang sedang dihadapi?" Nenek mengalihkan fokus Raka dari ketiga anak yang menyantap nasi kotak teramat riang.

Raka menggeleng dengan memaksakan senyuman. Si Nenek meraih tangan kirinya dan memerhatikan bekas luka gores di pergelangan tangan.

“Ini kenapa? Luka yang berbekas biasanya sakit sekali. Masih terasa nyeri?”

Raka menggeleng lagi dan menarik tangannya dari genggaman nenek.

“Hati-hati agar tidak terluka lagi, apalagi di pergelangan tangan. Kalau sampai lukanya mengenai nadi, kamu bisa mati.” Nenek menepuk-tepuk punggung Raka dengan lembut.

 “Saya memang bermaksud untuk itu.” Pengakuan Raka tentu saja membuat wajah tua nenek terkejut.

“Kenapa, Nak?”

Raka membisu.

“Pasti masalahmu sangat berat sampai terpikir hal itu.”

Raka tetap terdiam. Ia menggeleng pelan, namun kedua maniknya yang pekat mulai memerah.

“Nenek mungkin tidak bisa membantu, tapi Nenek akan mendengar ceritamu.”

Raka tetap bungkam. Lima menit berlalu tanpa suara, sehingga Si Nenek kembali berucap, “Kesulitan memang tidak memandang bulu. Tidak peduli bentuk wajah. Tidak tergantung pada harta, laki-laki atau perempuan dan juga usia. Siapapun bisa mengalaminya dan berkeluh kesah.”

Ucapan Si Nenek menyentuh hingga ke dasar hati Raka. Ada kesakitan yang tak terbendung lagi di dalam sana, sebab bukan itu yang selama ini Raka dengar. Karenanya, ia memberanikan diri untuk berbagi kisah. Berharap kali ini, ia tidak salah bertemu teman cerita.

“Orang tua saya berpisah. Ibu dan saudari saya meninggal. Ada pencuri masuk kamar kos saya. Dan... saya bertemu pencuri itu.” Raka menggigit bibir bawahnya usai menjelaskan. Ia sadar ucapannya tidak lengkap. Ia tidak mampu melengkapinya. Lebih dari itu, ia gugup menanti respon Si Nenek.

“Sungguh berat. Pantas saja kamu sangat sedih. Terima kasih masih mau bertahan.” Raka segera menatap wanita renta itu, merasa tak percaya dengan yang baru saja didengar.

Si Nenek kembali memberi tepukan pelan di punggung Raka dan bertanya, “Pencuri itu... berbuat jahat padamu?”

Sebulir airmata mengalir di wajah Raka tanpa aba-aba. Sungguh, ia lelah menanggung rahasianya sendirian dan dihantui trauma seorang diri. Maka malam ini, ia curahkan segalanya di hadapan nenek yang telah membuatnya merasa nyaman dan aman.

Dua tahun ini dilalui Raka begitu berat, setidaknya untuk ukuran hidupnya yang selama ini baik-baik saja, rasanya begitu sulit. Usai perpisahan orang tua disusul dengan kematian ibu dan saudara yang tiba-tiba, ia resmi kehilangan ‘rumah ternyaman’. Namun, teman-teman yang mengetahui kondisi Raka hanya menganggap kejadian itu wajar, sebab hidup dan mati memang telah ditentukan.

Satu tahun berlalu, masalah menimpa lagi. Kamar kos-nya dimasuki orang asing. Bukan hanya mengambil benda milik Raka, maling itu juga melakukan tindakan tak bermoral terhadapnya, sebuah pelecehan. Untuk kasus itu, Raka tidak mampu mengatakan pada siapapun dan memutuskan pindah tempat tinggal.

Enam bulan kemudian, Raka bertemu penjahat itu lagi dan mengalami tindakan serupa. Bedanya, si penjahat melakukannya bersama rekan-rekannya. Dan sekali lagi, Raka tak bisa mengatakannya pada siapapun. Dia hanya menunjukkan perangai sedih dan tidak bersemangat, hingga satu per satu teman membuat kesimpulannya sendiri tentang penyebab perubahan perilaku Raka.

“Seandainya saya berani menjelaskan hal itu mungkin mereka baru akan mengerti. Tetapi, apakah harus tahu akar masalahnya dulu baru bisa memahami? Sedangkan mereka sudah bisa menasihati tanpa harus bertanya penyebabnya dengan pasti.”

Sikap orang-orang yang seperti itu membuat Raka kehilangan rasa percaya pada lingkungan sekitarnya. Mereka menilai dengan mudah. Menyimpulkan dengan ringan. Memberi nasihat dengan gampang pula. Berdasarkan gender, usia dan status ekonominya.

Si Nenek tanpa henti menepuk-tepuk punggung Raka, mencurahkan segala empatinya. “Kamu sudah berjuang sangat keras, Nak. Apa kamu masih percaya bahwa hasil tidak akan mengkhianati usaha?”

Raka enggan menjawab pertanyaan tersebut.

Si Nenek beranjak dari duduk, meraih karung sampahnya, mengeluarkan sebuah buku dari dalam sana dan kembali duduk di samping Raka. Ia mengendus bau buku itu, lalu tersenyum ke arah pemuda di sampingnya.

“Tidak bau,” ucapnya seraya menyerahkan buku tersebut kepada Raka.

“Nenek tidak tahu bukunya berisi apa, tapi ada kata ‘sehat’ di sana, jadi kurasa akan cocok untukmu. Karena Nenek ingin kamu tetap sehat hingga waktu yang lama.”

Raka membaca singkat isi buku yang ternyata membahas seputar kesehatan mental, lalu memandang nenek kembali. “Terima kasih sudah mendengar cerita saya, Nek. Lain kali, saya main ke sini lagi dan bawa oleh-oleh ya.”

Si Nenek menggeleng. “Nenek dan cucu tinggal berpindah-pindah. Akan sulit bertemu lagi. Meski begitu Nenek berharap, Nak Raka tetap mau mencoba untuk mencari bantuan. Entah harus berapa kali lagi bertemu orang yang tidak tepat, tapi Nenek doakan semoga langkahmu segera menjadi ringan.”

“Nenek dan cucu juga, semoga selalu sehat.”

Raka pun pamit untuk pulang. Sepanjang langkahnya yang kian menjauh dari tempat Si Nenek, ia sesekali menoleh ke belakang dan tersenyum.

Si Nenek membalas dengan lambaian tangan kepada Raka, hingga pemuda itu tidak terlihat lagi. Si Nenek pun tersenyum lebar.

“Anak-anak, saatnya kita pulang!” ucapnya.

Ketiga bocah yang berperan sebagai cucunya itu segera bangkit dari duduk dengan wajah ceria, lalu berubah wujud menjadi burung merpati putih dan terbang di langit berbintang. Si Nenek pun melakukan hal serupa, wujudnya berubah menjadi merpati putih dengan ukuran lebih besar dan terbang menyusul kawanannya yang telah meninggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun