Terhitung hari itu hingga beberapa jam sebelum berita besar menghampiri kami, aku dan Senja rajin berkunjung ke kafe. Hampir dua pekan aku rajin menunjukkan batang hidungku di kafe, pengeluaranku menjadi bengkak. Beruntungnya, aku memiliki kartu member kafe sehingga mendapat potongan harga.Â
Untungnya lagi, makanan dan minuman yang dijual di kafe sangat enak. Dan yang terpenting, senyum Senja yang tak pernah temaram menanti kehadiran pangeran kuda putihnya, membuatku tak merasa menyesal melakukan semua hal sia-sia itu.
"Waktu itu juga hari Selasa, 'kan?" tanya Senja sementara kedua matanya fokus mengamati lalu-lalang orang di pintu masuk, sebelum akhirnya menatapku.
Aku mengangguk sebagai jawaban. Aku meletakkan novel yang seharian kubaca di meja dan mengambil handphone-ku dari dalam tas. Ada ratusan pesan kuterima di aplikasi Whatsapp dan jumlahnya terus bertambah. Seharian di kafe, aku memang tidak menyentuh handphone sama sekali dan fokus membaca novel.
"Tumben di grup rame," ucapku memberitahu Senja sekaligus mengode nya untuk membaca celotehan teman-teman kami di grup angkatan karena aku masih berkutat untuk membalas pesan ibuku yang mengomel karena aku tidak ada kabar seharian.
"Wuuh ... banyak banget chat nya!" Senja berseru.
"Iya makanya ...."Aku masih terfokus pada layar handphone.
"Mereka bahas pencurian! Eh, ada perampokan!" seru Senja menginformasikan isi chat grup.
"Oh ya, di mana?"
Tidak ada respon dari Senja. Kupikir dia sedang berkonsentrasi membaca informasi, namun karena keheningannya terlalu lama, aku mulai menoleh padanya. Wajahnya terlihat sendu. Aku enggan bertanya, jemariku bergerak cepat membuka chat grup dan membaca cepat isi obrolan di sana.
Sekitar pukul sebelas siang tadi, terjadi perampokan di bank swasta. Perampok terdiri dari 4 orang yang masing-masing membawa senjata tajam. Mereka bukan hanya mengambil uang namun juga merampas barang-barang pengunjung dan melakukan menyekapan.Â