"Nggak hujan, kenapa bawa payung?" tanyaku suatu hari saat di dalam kelas dan mendapati Senja sedang serius mengamati payung biru tua.
Senja menoleh. "Antisipasi." Senyumnya terurai, lalu kembali mengamati payung dan menghela napas. "Harusnya aku tanya nama dia atau tetap maksa buat ngembaliin payung."
"Kenapa gitu? 'kan enak dapat payung gratis. Bagus pula payungnya," ucapku.
"Tapi, jadinya nggak bisa ketemu lagi."
Aku menggumam. "Ke kafe aja lagi, siapa tahu ketemu!"
"Nggak ketemu."
"Eh, udah ke sana?" Senja mengangguk.
"Berapa kali?"
"Rutin. Setiap hari pas sore."
"O-oke ...." Aku cukup terkejut dengan usahanya. Tapi lebih terkejut pada kekuatan perasaan jatuh cinta yang dapat mengubah orang pendiam dan kalem menjadi berambisi mendapatkan sesuatu. Aku bergumam untuk memancing fokusnya padaku. Aku tahu dia menengok ke arahku, jadi aku mulai berkata.
"Kita ke kafe lagi selesai kelas ini. Kita nongkrong di sana sambil ngerjain tugas. Sampai malam, sampai kafe tutup. Gimana?" Senja mengangguk semangat dan aku menyadari bahwa diriku ikutan menjadi gila karena temanku jatuh cinta.