Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kado Optimisme 2021

31 Desember 2020   17:57 Diperbarui: 31 Desember 2020   18:30 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Maka, tindakan pembakaran buku, tanpa mengganti rugi, malah mempersekusi penjual buku, para pahlawan pendidikan bangsa, adalah tindakan melawan cita-cita luhur bangsa dan kemanusiaan untuk semakin menjadi beradab melalui budaya membaca buku.

Fakta-fakta di atas sudah pasti dikantongi Pemerintah. Jadi, secara materialis dan formal, Pemerintah seharusnya sudah lebih dulu menindak FPI secara hukum sebelum korban berjatuhan. Lantas, mengapa Pemerintah menunggu akhir tahun 2020?

Momentum Politik

Pemerintah adalah lembaga raksasa yang memiliki instrumen kekuasaan dalam semua aspek untuk memutuskan dan mengeksekusi kebijakan apapun. Maka, membubarkan FPI pada akhir Desember adalah "by design", bukan sebuah kebetulan koinsidens. Pemerintah sungguh cermat menghitung langkah supaya tidak menimbulkan riak sosial. Pemerintah menunggu momentum politik yang kondusif. Seperti apa?

Membubarkan FPI lebih cepat akan menuai protes lebih banyak dari masyarakat karena kejahatan FPI belum begitu kelihatan. Makna datang dari kontras. Membiarkan FPI berkanjang dengan anarkismenya, semakin lama masyarakat semakin gusar, kebencian terhadap FPI pun meningkat.

Di dalam kondisi seperti ini, Pemerintah lebih mudah mendapat sponsor publik, legitimasi Pemerintahan semakin kokoh, mendapatkan acungan jempol heroik tatkala menumpas FPI. Ini momentum politik pertama.

Bila Pemerintah membubarkan FPI ketika ketua FPI, Rizieq Zhihab, masih berkelana di Arab Saudi, Pemerintah justru blunder. Menangkap ular itu dimulai dari kepalanya, bukan ekor, untuk menghindari gigitan berbisa melalui serangan balik. Menunggu sambil membuka pintu lebar untuk kepulangan Rizieq bak seorang diplomat ulung adalah umpan menarik untuk memancing ular keluar dari sarangnya.

Tidak hanya membiarkan Rizieq pulang, mempublikasikan kelupaan atas kasus silam Rizieq dan memberikan Rizieq kebebasan untuk mementaskan kebodohannya adalah intrik politik yang menarik. Rizieq akhirnya termakan umpan, terperangkap dalam jerat sehingga tidak ada lagi alasan untuk melarikan diri.

Para pengikut FPI terselubung dalam semua lapisan sosial pun tidak lagi memiliki tameng yang kuat untuk mempertahankan Rizieq dan FPI ketika Pemerintah menyerang tiba-tiba. Ini adalah momentum politik kedua.

Pemerintah memiliki banyak ahli hukum. Sebut saja Menkumham Profesor Yasonna Laoli, Menkopolhukam Profesor Mohammad Mahfud MD, dan berbagai ahli hukum ternama di Indonesia yang sering dilibatkan dalam penggodakan beragam kebijakan.

Namun, ada yang kurang bila belum ada Edward Omar Sharif Hiariej, profesor hukum termuda Indonesia yang terkenal sebagai pendekar dari Universitas Gajah Mada. Profesor Edi, nama panggilannya, memperoleh gelar profesor pada usia 37 tahun, mengalahkan prestasi profesor Mahfud MD yang meraih gelar serupa pada usia 42 tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun