Jika perzinaan dianggap sebagai tindakan kriminal, maka penjara akan penuh. Demikian salah satu poin kekhawatiran yang disampaikan oleh Ketua Komnas Perempuan dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Azriana dalam presentasinya di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (30/08) lalu.
Sidang judicial review digelar oleh MK untuk membahas sejumlah pasal kesusilaan dalam KUHP. Pasal-pasal tersebut dianggap belum secara menyeluruh melindungi masyarakat dari berbagai masalah kesusilaan, antara lain perzinaan.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S itu, Azriana menyampaikan penolakannya dengan alasan apa yang dirumuskan oleh pemohon uji material ini dapat mengakibatkan banyak remaja yang dikirim ke penjara.
“Perluasan cakupan zina berpotensi terhadap kriminalisasi korban perkosaan dan pencabulan akibat dalih pelaku yang menyatakan tindakan perkosaan yang dilakukan itu adalah suka sama suka. Ini banyak dialami oleh anak-anak remaja kita. Nah, kalau kemudian kita perluas cakupan perkosaan sampai kepada tindakan yang dilakukan oleh anak-anak remaja kita ini, apakah kita akan mengantarkan mereka semua ke penjara?” ujar Azriana beretorika.
Erasmus Napitupulu, kuasa hukum dari ICJR, juga menyatakan kekhawatiran yang serupa. “Kita bisa bayangkan ketika anak-anak remaja kita berhubungan seksual, ketika karena ketidaktahuan dan keingintahuan mereka lantas berhubungan seksual dan dikriminalisasi, maka penjara-penjara kita akan penuh dengan anak-anak,” ungkapnya.
Kekhawatiran itu dianggap tak beralasan oleh salah seorang Hakim MK, Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si. Menurutnya, Indonesia sudah mengenal perlakuan khusus yang harus diberikan kepada anak dan remaja yang melakukan tindak kriminal.
“Saudara berasumsi bahwa kalau permohonan ini dikabulkan, maka penjara akan penuh dan anak-anak akan kita masukkan ke penjara. Padahal sebenarnya kita bisa merujuk ke dalam Undang-Undang Perlindungan Anak,” tandas Aswanto.
Tanggapan Komnas Perempuan dan ICJR tentang penjara itu juga mendapatkan respon dari Qurrata Ayuni, S.H., salah seorang pemohon uji material. Menurut lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini, penjelasan saksi ahli Dr. Hamid Chalid pada sidang 23 Agustus 2016 yang lalu semestinya cukup untuk menjawab permasalahan.
“Waktu itu, Dr. Hamid menjelaskan bahwa hukum itu bukan hanya menghukum. Menjatuhkan hukuman adalah jalan terakhir yang hanya ditempuh jika tak ada jalan lain. Jadi tujuan kita bukan memenuhi penjara, melainkan menegakkan norma kesusilaan yang benar di negeri ini. Tentu di samping itu harus ada langkah-langkah edukasi dan sebagainya, bukan sekedar mengirim orang ke penjara, itu naif sekali,” tandasnya.
Sidang uji material akan dilanjutkan kembali pada Kamis (08/09) mendatang dengan agenda menghadirkan sejumlah pihak terkait lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H