Ini jelas terlalu menyederhanakan. Dunia digital tidak seperti rumah yang bisa dikunci rapat.
Selalu ada jalan belakang, atau jendela yang bisa dibuka bagi yang penasaran. Larangan kadang malah memantik rasa ingin tahu.
Anak akan mencari cara lain. Memalsukan umur saat mendaftar. Memakai akun orang lain. Menyalakan VPN untuk melewati blokir.
Ironisnya, upaya itu justru menggiring mereka ke sudut internet yang liar dan tak terawasi.
Akar soal berikutnya adalah verifikasi usia. Kalau kebijakan bertumpu pada pembatasan, bagaimana caranya platform memastikan umur pengguna dengan akurat?
Opsi pertama memakai dokumen resmi seperti KTP. Di sini muncul persoalan baru. Yakni privasi dan keamanan data.
Indonesia punya catatan bocor data yang tidak bagus. Media kredibel berkali-kali memberitakannya (Kompas, 2023). Menyerahkan data KTP jadi pertaruhan besar dan berisiko mengikis kepercayaan publik.
Opsi kedua mengandalkan AI, misalnya pemindaian wajah. Kedengarannya modern dan solutif. Sayangnya, akurasinya belum memadai, terutama untuk memperkirakan usia anak.
Lebih runyam lagi, ada bias. Sejumlah studi menunjukkan akurasi rendah pada kelompok etnis tertentu, termasuk wajah orang Asia (NIST, 2019).
Dampaknya, anak Indonesia bisa lolos, sementara orang dewasa yang sah justru tertolak.
Kalau begini rumitnya, kita perlu menggeser fokus. Bukan lagi sekadar bagaimana melarang.