Wacana pembatasan akses medsos kembali ramai. Di warung, di grup keluarga, di kantor, semua ikut menimbang. Pemerintah pun sedang menyiapkan aturannya.
Gagasan ini lahir dari rasa cemas, dan kecemasan itu punya dasar kuat.
Anak-anak dipandang sebagai kelompok paling rentan. Mereka berhadapan langsung dengan konten negatif di dunia maya.
Pornografi ada dan jelas terlihat. Judi online juga nyata dan mengancam. Perundungan siber bisa merusak dari dalam.
Semua itu benar-benar berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Lembaga resmi sudah menyebut situasi ini genting.
Banyak anak jatuh sebagai korban konten negatif. Datanya ada dan dirilis lembaga resmi (KemenPPPA, 2021; UNICEF).
Di tempat lain, beberapa negara mulai melirik langkah yang lebih keras.
Australia, misalnya, mendiskusikan pelarangan medsos untuk anak di bawah 16 tahun. Alasan utamanya menyangkut kesehatan mental (Reuters, 2024).
Rancangan aturannya tegas. Perusahaan teknologi terancam denda jika melanggar, dan jumlahnya tidak kecil. Tapi efektifkah pendekatan seperti ini?
Bisakah modelnya disalin mentah-mentah ke semua negara, termasuk Indonesia yang punya demografi unik dan infrastruktur digital yang khas?
Masalahnya, fokus sering berhenti di soal membatasi akses. Seolah persoalan hanya di "pintu masuk". Seakan semuanya beres begitu anak tidak punya akun.