Banyak orang punya boneka beruang. Benda kecil ini sering terasa spesial. Bukan sekadar mainan.
Kita biasanya menarik garis ke satu cerita lama tentang Presiden AS Theodore Roosevelt. Saat ikut perburuan, ia menolak menembak seekor beruang yang tampak tak berdaya (History.com).
Kisah itu lalu digambar oleh seorang kartunis dan memicu ide seorang pemilik toko. Lahirlah nama "Teddy's Bear"
Tapi benarkah itu satu-satunya alasan kita dekat dengan boneka beruang? Rasanya tidak.
Cerita tersebut lebih mirip langkah pemasaran yang cerdas untuk zamannya. Ikatan kita pada boneka jauh lebih dalam dari sekadar nama.
Kekuatan boneka beruang bukan pada sebutannya. Yang membuatnya bertahan adalah rasa nyaman saat dipeluk.
Ada rasa aman yang muncul, meski sulit dijelaskan dengan kata-kata. Psikologi punya jawabannya. Salah satunya lewat teori objek transisional yang diperkenalkan D. W. Winnicott, seorang psikolog anak yang brilian (Simply Psychology).
Menurutnya, anak-anak sering mengandalkan benda tertentu, entah selimut atau boneka, untuk menenangkan diri. Benda itu membantu mereka menghadapi cemas ketika belajar mandiri, terutama saat berpisah dari orang tua.
Di momen itu, boneka jadi teman pengganti. Semacam jembatan emosi yang menghubungkan rasa aman dari ibu dengan dunia di luar.
Ada penjelasan lain yang tak kalah penting. Manusia punya kecenderungan alami untuk memberi sifat manusia pada benda. Fenomena ini disebut antropomorfisme (Britannica).
Lihat saja wajah boneka beruang. Sederhana sekali.