Kesehatan lagi sering dibahas di media sosial. Tips diet bertebaran ke mana-mana. Salah satu yang ramai adalah fibermaxxing, istilah baru di internet yang intinya sederhana: makan serat lebih banyak.
Tren ini muncul karena banyak orang kekurangan serat. Di Amerika Serikat angkanya memprihatinkan, hanya sedikit yang memenuhi kebutuhan harian (Healthline). Inggris pun sejalan.
Indonesia tidak jauh berbeda. Riset Kesehatan Dasar mencatat temuan yang bikin kaget: 95,5% masyarakat kurang makan buah.
Logikanya, asupan serat ikut rendah. Penelitian pada remaja di Jakarta menguatkan gambaran itu. Rata-rata serat mereka hanya 10 gram per hari (Soerjodibroto, 2004).
Padahal kebutuhan minimal berada di kisaran 25 gram. Jadi ini bukan persoalan sepele. Kekurangan serat sudah jadi epidemi diet modern, global maupun lokal. Fibermaxxing hadir untuk menambal celah itu.
Serat memang tidak diubah menjadi energi. Justru karena "tidak tercerna", manfaatnya terasa.
Ada dua jenis serat: larut dan tidak larut. Serat larut membentuk gel di usus, membantu menurunkan kolesterol dan menstabilkan gula darah.
Serat tidak larut bekerja seperti sapu, menambah massa feses dan melancarkan buang air besar. Manfaat ini bukan sekadar klaim.
Studi di The Lancet yang melibatkan ratusan ribu orang menunjukkan konsumsi serat tinggi menurunkan risiko penyakit sebesar 15 sampai 30 persen (CNN Indonesia, 2019).
Penyakit jantung dan stroke termasuk di situ. Diabetes tipe 2 juga berkurang risikonya. Beberapa kanker pun demikian.
Serat sekaligus memberi makan bakteri baik di usus, yang membantu melindungi kolon dari peradangan (Memorial Sloan Kettering Cancer Center).