Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dilema WNI di Luar Negeri: Memilih Solidaritas Global atau Pragmatisme Negara?

11 Oktober 2025   09:00 Diperbarui: 6 Oktober 2025   15:53 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah Indonesia memilih jalan yang jelas dan tegas. Ketika gejolak politik merebak di berbagai negara, Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir meminta WNI untuk tidak ikut campur urusan politik domestik di negara tempat mereka tinggal (Tirto.id, 2025).

Fokuslah pada studi atau pekerjaan, begitu intinya. Anjurannya bukan tanpa alasan. Kerusuhan di Nepal baru-baru ini berujung pada evakuasi total 78 WNI, sebuah operasi yang lahir dari situasi tak aman di sana (Tirto.id, 2025).

Dari kacamata pemerintah, terlibat langsung dalam politik setempat membawa risiko yang tidak perlu. Mengancam keselamatan. Dan akhirnya membebani negara dengan biaya evakuasi. Langkah penegasan ini dimaksudkan untuk melindungi warga sekaligus menjaga netralitas diplomatik Indonesia.

Sikap hati-hati itu memantik perdebatan. Banyak yang merasa ia seakan bertentangan dengan jejak sejarah bangsa.

Dulu, para pejuang kita aktif di front politik internasional. Lihat Perhimpunan Indonesia di Belanda. Berawal dari perkumpulan mahasiswa, PI berubah menjadi barisan perlawanan pada 1930-an (Kumparan, 2020).

Mereka mengecam fasisme Nazi dan kolonialisme. Menerbitkan koran bawah tanah yang ilegal. Dan melindungi orang-orang yang diburu polisi Nazi. Irawan Soejono tewas ditembak Gestapo karena aktivitas perlawanan itu (Historia.ID, 2014).

Sementara sebagian aktivis lain dijadikan pekerja paksa. Bagi mereka, ada prinsip etis yang tak bisa ditawar. Bahwa penindasan di mana pun harus ditentang. Itu bagian dari jalan menuju kemerdekaan Indonesia.

Adilkah membandingkan PI dengan pernyataan Wamenlu hari ini? Tidak sepenuhnya. Konteksnya berbeda jauh.

PI bergerak ketika Indonesia masih menjadi subjek kolonial. Jadi perjuangan mereka menyangkut kepentingan nasional yang menyentuh eksistensi. Dan mendapat legitimasi politik yang luas.

Sekarang, keterlibatan WNI biasanya menyentuh isu domestik negara lain. Contohnya, protes di Timor Leste dipicu rencana pengadaan mobil dinas Toyota Prado untuk anggota DPR di tengah krisis ekonomi pada September 2025.

Setelah gelombang protes, parlemen akhirnya membatalkan rencana itu (CNN Indonesia, 2025).

Di Filipina, demonstrasi meletup karena skandal korupsi proyek pengendalian banjir. Ratusan orang ditangkap dan seorang pejabat tinggi akhirnya mundur (detikNews, 2025).

Kondisi WNI hari ini juga berbeda. Mereka adalah warga negara merdeka yang hidup di bawah hukum negara setempat.

Melanggar aturan lokal bisa berujung deportasi. Bukan hanya merugikan individu, tetapi juga bisa mengganggu hubungan diplomatik Indonesia.

Dalam kerangka ini, imbauan Wamenlu mencerminkan tugas utama negara. Yakni melindungi warganya.

Ini juga bagian dari manajemen risiko nasional. Pemerintah ingin diaspora tetap aman dan tidak menjadi sumber gesekan diplomatik.

Ajakan untuk fokus pada pendidikan dan ekonomi sejalan dengan strategi jangka panjang menjadikan diaspora sebagai aset terdidik dan penghasil devisa.

Meski begitu, semangat solidaritas global para pendiri bangsa tidak pernah benar-benar padam. Mohammad Hatta adalah contoh yang kerap disebut.

Pada usia 25 tahun, sebagai delegasi PI, ia menghadiri Kongres Liga Anti-Imperialisme di Brussel pada Februari 1927 (Tirto.id, 2025).

Hatta duduk di presidium. Berjejaring dengan tokoh-tokoh anti-kolonial dari berbagai belahan dunia.

Kehadirannya ikut menguatkan legitimasi perjuangan kemerdekaan dan memperkenalkan istilah "Indonesia" ke panggung internasional (ResearchGate, 2025).

Jadi, apa pelajaran yang bisa diambil? Solidaritas universal itu luhur. Dorongan untuk menentang penindasan patut diwariskan.

Yang perlu disesuaikan adalah cara menyalurkannya di tengah tuntutan pragmatisme kedaulatan hari ini.

Tidak semua hal harus dihadapi dengan turun ke jalan. WNI bisa terlibat lewat advokasi digital yang terukur, pendidikan, dan diplomasi budaya.

Lobi yang damai juga terbuka. Suara bisa disalurkan lewat kanal resmi.

Intinya, pelihara kepedulian tanpa melanggar hukum setempat. Tanpa menempatkan kepentingan nasional RI dalam risiko.

WNI tetap dapat menjadi bagian dari panggung dunia yang bergolak. Tanpa terseret arus konflik lokal.

Sikap yang bijak adalah menghormati hukum internasional. Sambil mencari jalur yang etis dan non-konfrontatif.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun