Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bagaimana Pameran Kekayaan Nepo Kids Menumbangkan Pemerintahan Nepal?

11 Oktober 2025   05:00 Diperbarui: 6 Oktober 2025   15:22 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendemo berkumpul di depan gedung parlemen Kathmandu yang dibakar (9/9/2025). (AFP/PRABIN RANABHAT via Kompas.com)

Berita besar di Nepal pada September 2025 sebenarnya tidak datang tiba-tiba. Krisis itu lahir dari amarah publik yang menumpuk lama karena korupsi yang mengakar.

Demokrasi yang terus gagal memenuhi janji ikut menambah rasa muak. Perlahan tapi pasti, kepercayaan rakyat pada elite politik habis terkikis (Wikipedia, 2025).

Saat itu pemerintahan dipimpin Perdana Menteri KP Sharma Oli, politisi kawakan dari Partai Komunis Nepal (UML). Ia berangkat dari tradisi Marxis-Leninis dan pernah dipenjara 14 tahun karena gerakan anti-monarki (World Leaders Forum, 2024).

Namun banyak kritik menilai cara berkuasanya berseberangan dengan ideologi partai. CPN (UML) semestinya membela rakyat kecil, tetapi justru dianggap melayani kepentingan kelas borjuasi (CBS News, 2025).

Jadilah jurang kontradiksi yang dalam. Bagi sebagian elite, ideologi tampak hanya alat politik untuk menjaga kursi.

Kebijakannya pun kerap memicu kontroversi. Yang paling mencolok adalah keputusan membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, dua kali, pada Desember 2020 dan Mei 2021.

Para pakar hukum menyebut langkah itu bertentangan dengan konstitusi (Indian Express, 2025), dan Mahkamah Agung akhirnya membatalkan keduanya.

Oli juga mengambil alih kendali sembilan lembaga investigasi, termasuk lembaga antikorupsi dan intelijen. Gerak ini dipandang sebagai cara menekan lawan politik.

Ruang kebebasan berekspresi ikut menyempit, dengan jurnalis kerap dijerat Undang-Undang Transaksi Elektronik (CBS News, 2025).

Masalah sudah menggunung, lalu percikan datang dari fenomena Nepo Kids. Anak-anak pejabat pamer hidup mewah di media sosial.

Mobil mahal, liburan glamor, semua dipertontonkan. Bagi banyak warga Nepal, tontonan itu terasa menampar.

Di sisi lain, data ekonomi berbicara keras. Pengangguran anak muda pada 2024 menyentuh 20,82 persen (Trading Economics, 2025).

Banyak yang akhirnya merantau ke luar negeri untuk mencari kerja. Wajar jika rasa tersinggung muncul. Uang anak pejabat pun dicurigai bersumber dari korupsi.

Perlawanan terhadap Nepo Kids mulai bergulir di dunia maya dengan tagar #PoliticiansNepoBabyNepal. Narasinya sederhana: derita rakyat dibandingkan dengan kemewahan elite. Gerakan ini juga terinspirasi tren serupa di Filipina (Britannica, 2025).

Respons pemerintah Oli justru memperburuk keadaan. Pada 4 September 2025, Nepal melarang 26 platform media sosial, termasuk Facebook, X, YouTube, dan Instagram (Breeze Adventure, 2025).

Banyak yang melihatnya sebagai serangan terhadap kebebasan digital.

Larangan itu menjadi pemicu besar. Pada 8 September, demonstrasi massal meletup, didominasi Generasi Z. Upaya masuk ke gedung parlemen berujung bentrok.

Aparat menanggapi dengan kekerasan. Gas air mata ditembakkan, peluru tajam juga.

Korban pun berjatuhan. Sekitar 19 hingga 21 orang tewas pada hari pertama protes (Times of India, 2025).

Malamnya, pemerintah mencabut larangan media sosial. Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak mengundurkan diri. Hanya saja, amarah publik telanjur memuncak.

Esoknya, 9 September, kekerasan kian membara. Sejumlah bangunan penting dibakar massa.

Singha Durbar dan gedung Mahkamah Agung hangus. Kediaman presiden dan perdana menteri ikut jadi sasaran.

Dalam dua hari itu, total korban tewas dilaporkan mendekati 74 hingga 75 orang (Indian Express, 2025).

Tekanan dari jalanan dan militer akhirnya memaksa Oli mundur. Panglima Angkatan Darat Ashok Raj Sigdel menyarankannya melangkah turun demi meredakan situasi.

Oli lalu berlindung di barak militer Shivapuri. Pengunduran diri itu membuka jalan bagi pemerintahan interim yang dipimpin Sushila Karki.

Dari krisis Nepal 2025, ada beberapa pelajaran yang sulit diabaikan. Media sosial terbukti ampuh sebagai mesin mobilisasi Generasi Z.

Kultur impunitas dan korupsi pada akhirnya memantik harga politik yang mahal. Pekerjaan rumah terbesarnya jelas: membenahi sistem yang korup.

Nepal perlu bertahan dan mendorong pemerintahan yang lebih akuntabel.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun