Komandan Satgas PKH, Mayjen TNI Dody Triwinarto, mengutamakan pendekatan persuasif. Jika pelaku menolak, barulah pidana ditempuh (Tirto, 2025).
Pendekatan persuasif menuai kritik. Dinilai tidak menimbulkan efek jera bagi mafia. Bagi korporasi besar, denda hanya dianggap biaya operasional, sementara keuntungan sawit jauh lebih besar (Panut Hadisiswoyo, 2025).
Padahal, Satgas PKH punya amunisi hukum yang kuat. Dwi Januanto Nugroho menyebut Satgas bisa memakai UU berlapis, termasuk UU Korupsi dan Gratifikasi, dengan mandat yang jelas di Perpres 5/2025.
Mandat ini seharusnya menutup celah hukum yang selama ini dimanfaatkan (Tirto, 2025).
Kritik lain datang dari Greenpeace Indonesia. Rio Rompas menyorot komposisi Satgas PKH yang melibatkan unsur militer.
Ada kekhawatiran muncul konflik, karena ini bukan domain utama militer. Di sisi lain, militer bisa mempercepat penertiban di lapangan (Tirto, 2025).
Greenpeace juga mengkritik skema penertiban yang menyerahkan lahan sitaan ke BUMN, yakni PT Agrinas Palma Nusantara yang bergerak di perkebunan. Menurut Rio Rompas, langkah ini keliru (Greenpeace, 2021).
Kawasan hutan semestinya dipulihkan, bukan dikelola untuk tujuan komersial. Fungsi hutan konservasi adalah memulihkan ekosistem.
Pemerintah perlu bersikap tegas. Penegakan pidana harus memprioritaskan perusahaan besar agar efek jeranya nyata (Rio Rompas, 2025).
Selama ini penegakan hukum tumpul, dan itu masalah utamanya. Data Greenpeace mencatat 3,12 juta hektare kebun sawit ilegal berada di kawasan hutan pada 2019. Sekitar 1,55 juta hektare dikuasai perusahaan berbadan hukum.
TNGL termasuk korbannya saat ini. Tanpa tindakan tegas, kerusakan akan terus berlanjut (Greenpeace, 2021).