Selama ini penjarahan sering dipersempit jadi kejahatan yang memanfaatkan situasi. Nyatanya, ia juga memantulkan retak sosial yang lebih dalam (History.com) dan menyingkap bolongnya sistem negara.
Mengambil properti bukan semata urusan barang. Itu cara berkomunikasi yang dipaksakan.
Massa memakai kekerasan sebagai alat politik. Pesannya keras, dan hampir selalu sampai.
Penjarahan kerap jadi penanda awal. Ia mengisyaratkan perebutan kendali atas kekuasaan.
Sejarah menunjukkan penjarahan punya banyak rupa. Di masa Romawi, ia tampil sebagai ritual kemenangan. Kekuasaan justru melegalkannya.
Jenderal Titus menaklukkan Yerusalem pada tahun 70 M, lalu membawa pulang artefak suci. Menorah ikut diangkut.
Tindakan ini dipamerkan sebagai bukti kejayaan, diabadikan pada Arch of Titus (Warfare History Network). Ini contoh penjarahan yang diatur dari atas.
Masuk ke era kolonial, sifatnya berubah menjadi mesin ekstraksi. Kekayaan alam dikeruk bangsa Eropa, artefak budaya ikut disapu. Bahkan mumi dari negeri jajahan.
Tujuannya bukan sekadar menumpuk harta, tetapi juga mengikis identitas (Tirto.id). Museum-museum besar Eropa kini menyimpan tumpukan barang rampasan. Wacana repatriasi artefak pun jadi perdebatan serius.
Penjarahan sipil membawa makna lain lagi. Ia tumbuh dari penumpukan kekecewaan. Lihat Los Angeles 1992.
Ledakannya adalah respons atas ketidakadilan rasial di Amerika Serikat, pecah setelah para polisi yang memukuli Rodney King dibebaskan (History.com). Penjarahan meluas saat ketertiban runtuh.