Segel itu juga memuat moto Latin, "Divitis Indiae usque ad ultimum sinum," yang kurang lebih berarti kekayaan India sampai ke pelabuhan terjauh, yakni di Timur yang makmur (Destination Salem, 2016).
Data sejarah menegaskan betapa strategisnya hubungan ini. Sebanyak 179 kapal Amerika tercatat berlabuh di Aceh antara 1654 hingga 1846.
Sejarawan Anthony Reid menulis tentang peran penting Aceh selatan sebagai pemasok lada untuk New England. Intinya, Aceh adalah pemasok utama Amerika.
Pada segel, pria Aceh digambarkan mengenakan busana ulee balang dan memegang payung kehormatan. Dulu, gambar itu dimaksudkan sebagai pengakuan atas kekayaan dan kemitraan dagang dengan yang disebut Hindia Timur (PotretOnline, 2025).
Masalahnya muncul saat gambar dari 1839 itu dibaca ulang di zaman sekarang. Anggota Dewan Kota Salem, Andy Varela, mengakui bahwa citra visual tersebut tidak lepas dari bias sejarah (Patch, 2025).
Banyak penulis Barat dulu cenderung menyamaratakan orang Asia Tenggara dan menempatkan mereka sebagai pihak yang dianggap "kurang" dibandingkan Eropa-Amerika.
Mungkin niat Peabody adalah menghormati mitra dagang Aceh, tetapi dari kacamata modern representasi itu bisa terasa eksploitatif dan merendahkan (Patch, 2025).
Para pemrotes tidak ingin menghapus sejarah. Mereka ingin memperbaiki visual yang dinilai sudah usang.
Dari Indonesia, responsnya beragam. Reza Idria, antropolog Aceh, mendukung agar simbol itu dipertahankan. Menurutnya, itu adalah ikatan yang signifikan dan bagian dari warisan diplomasi budaya.
Sikap ini didukung Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem. Ia mengirim surat kepada Gubernur Massachusetts, Maura Healey, pada 18 Juli 2025 (Arrahmah.id, 2025).
Isi pesannya jelas, jangan hapus logo tersebut. Ia berpendapat penghapusan tidak perlu, karena takutnya hanya akan dianggap tidak sensitif. Mualem malah mengusulkan penguatan makna melalui program pendidikan bersama dan pertukaran budaya (Dialeksis.com, 2025).