Gunung Gajah Pemalang bukan cuma bongkah batu. Ia hidup, bernapas bersama warganya. Bagi Desa Gongseng, gunung ini adalah tanda yang menjejak.
Alam dan budaya bertemu di sana, saling mengikat. Mitos berjalan beriringan dengan kenyataan sehari-hari.
Tempat ini memantulkan identitas lokal yang terus bergerak, tidak berhenti di satu titik.
Banyak orang menyebutnya kisah sukses. Pariwisata melesat, ekonomi warga ikut terdongkrak. Ritual adat seperti Suronan tetap terjaga dan justru menjadi magnet utama.
Setiap tahun, pada bulan Suro, warga menggelar upacara dengan puncak ruwatan massal. Tujuannya jelas, menolak bala dan membersihkan diri.
Prosesi ini dipimpin Mbah Romo Slamet Sudoro (Suara Merdeka). Kidung Kalacakra dilantunkan, doa lama yang diyakini warisan Wali Songo, sebagai permohonan keselamatan (Kompas.com, 2023).
Tapi muncul pertanyaan yang menggelitik. Harmoni yang tampak itu sungguh-sungguh atau hanya di kulit luar?
Ketika ritual sakral ditonton banyak orang dari luar, esensinya bisa bergeser. Tradisi yang dulu murni untuk kebutuhan batin komunitas berisiko berubah menjadi tontonan untuk wisatawan.
Kesakralan perlahan pudar, tergeser oleh tuntutan komersial.
Urusan identitas lokal juga tidak sesederhana itu. Banyak yang menyebut Gunung Gajah sebagai penjaga desa, sebuah gagasan yang mengakar dalam kosmologi Jawa dan selaras dengan temuan akademik tentang gunung sebagai pusat orientasi spiritual (Dani Sunjana, 2019).
Namun apakah semua warga Gongseng, terutama generasi muda, memandangnya sama? Bisa jadi tidak. Bagi sebagian, gunung ini lebih dulu menghadirkan lapangan kerja, peluang ekonomi yang besar. Identitas, pada akhirnya, tidak tunggal dan tidak kaku.
Dampak ekonomi dari pariwisata memang terasa. Situs resmi dinas pariwisata ikut mempromosikannya (Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Pemalang).
Warung kecil tumbuh, usaha lokal bertambah. Lalu muncul sisi lain yang perlu ditelisik. Siapa yang paling diuntungkan? Apakah bagiannya terbagi adil? Lingkungan jadi isu krusial.
Semakin ramai pengunjung, semakin banyak sampah. Potensi kerusakan alam ikut membayangi. Menjaga keseimbangan antara untung dan kelestarian ternyata tidak mudah.
Soal tradisi di Gunung Gajah, banyak fakta yang bisa diverifikasi. Namun narasi utuh tetap harus membedakan antara data yang terdokumentasi dan klaim yang belum teruji.
Pernah beredar kabar kenaikan jumlah pengunjung, tetapi angka spesifiknya sulit dilacak sumbernya. Yang aman diakui adalah adanya peningkatan yang signifikan, tanpa terikat pada angka mentah.
Itu cukup menunjukkan pariwisata berkembang, sambil tetap menempatkan akurasi sebagai pegangan utama.
Gunung Gajah adalah ruang hidup, bukan objek wisata pasif. Di sana ada tarik-menarik kepentingan. Keinginan menjaga warisan leluhur bertemu desakan kebutuhan ekonomi modern.
Masa depannya ada di tangan warga. Mereka yang akan mengelola dinamika yang kompleks ini, merawat jiwa tempatnya, sambil tetap membuka diri pada dunia.
***
Referensi:
- Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Pemalang. (n.d.). Beranda. Diakses pada 24 September 2025, dari https://disparpora.pemalangkab.go.id/
- Suara Merdeka. (2022, 30 Juli). Ratusan warga ikuti ruwatan massal di Gunung Gajah. Suaramerdeka.com. https://www.suaramerdeka.com/pantura/pr-044062837/ratusan-warga-ikuti-ruwatan-massal-di-gunung-gajah
- Sunjana, D. (2019). Gunung dalam wawasan kosmologi masyarakat Jawa Kuna. Patanjala: Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, 11(2). https://ejournal.kemdikbud.go.id/patanjala/article/view/1897
- T., Lukman Setyo. (2023, 20 Juli). Kidung Kalacakra, doa penolak bala peninggalan Sunan Kalijaga. Kompas.com. https://www.kompas.com/stori/read/2023/07/20/120000379/kidung-kalacakra-doa-penolak-bala-peninggalan-sunan-kalijaga
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI