Sayangnya sisi gelap ini jarang dibahas. Yang sering terdengar justru cerita betapa mudahnya.
Di sini letak ironinya. Banyak survei bilang masyarakat paham keuangan. Mengerti pentingnya tabungan. Tahu kenapa butuh dana darurat.
Namun pengetahuan tidak selalu berubah jadi tindakan. Ledakan paylater jadi buktinya. Dorongan belanja sangat kuat, dan riset menunjukkan minat itu terus naik (CNBC Indonesia, 2023).
Prosesnya pun super ringkas. Beberapa klik saja. Niat menabung sering kalah oleh keinginan sesaat yang sekarang didorong teknologi.
Perlu juga bertanya lebih kritis. Paylater populer karena murni kebutuhan? Atau ada daya dorong lain yang lebih kuat?
Perusahaan fintech punya kantong promosi besar. Diskon dan cashback bertebaran. Cicilan nol persen juga muncul di banyak tempat (Daily Social, 2023).
Iklan-iklan ini membentuk citra baru: punya barang sekarang terasa wajar. Gaya hidup bayar belakangan terus didorong.
Alhasil, alasannya jadi kompleks. Bukan cuma soal gaji yang kurang, tetapi juga soal tekanan gaya hidup dan gempuran pemasaran yang agresif.
Teknologi finansial hanyalah alat. Sama seperti alat lain, ia bisa sangat bermanfaat atau justru merugikan. Tergantung cara kita memakainya.
Kemudahannya nyata, risikonya juga nyata. Tantangan terbesar bukan soal akses, melainkan soal kebijaksanaan saat menggunakan.
Masyarakat perlu benar-benar sadar terhadap konsekuensi, termasuk dari tiap klik persetujuan.