Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Jerat Manis Utang Digital di Ujung Jari

26 September 2025   23:00 Diperbarui: 22 September 2025   13:36 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rupiah.(Shutterstock/Pramata via Kompas.com)

Fintech sudah menempel di keseharian kita. Hampir semua orang memakainya, terutama buat urusan bayar-membayar.

Dompet digital ada di mana-mana. Beli apa saja jadi terasa gampang.

Pindai kode, klik, beres. Kebiasaan belanja ikut bergeser, baik di toko online maupun di kasir fisik. Lama-lama, pola ini jadi standar baru di ekonomi digital.

Belakangan ada bintang baru yang makin sering disebut: paylater. Banyak yang jatuh hati. Data survei bicara jelas: satu dari empat orang memakainya (Laporan Jakpat, 2023).

Pertumbuhannya kencang. Buat sebagian orang, ini terasa sebagai penyelamat, khususnya saat butuh cepat atau ketika gaji serasa mepet.

Biaya hidup naik, sementara kenaikan gaji sering tidak seimbang. Maka paylater dipakai sebagai penyangga arus kas bulanan.

Tapi setiap kemudahan punya dua sisi, seperti pisau yang sangat tajam. Ya, paylater membantu.

Namun pada hakikatnya, itu tetap utang. Dan ini utang konsumtif. Artinya harus dibayar kembali lengkap dengan bunganya.

Telat bayar, siap-siap kena denda. Bunganya pun bukan kecil. OJK menetapkan batas maksimal bunga harian sebesar 0,3% (Otoritas Jasa Keuangan).

Sekilas tampak enteng, tapi kalau menumpuk bisa jadi beban. Masalah kecil bisa membesar.

Berniat cari solusi, malah membuka pintu masalah. Ujungnya, orang bisa terjerat utang.

Sayangnya sisi gelap ini jarang dibahas. Yang sering terdengar justru cerita betapa mudahnya.

Di sini letak ironinya. Banyak survei bilang masyarakat paham keuangan. Mengerti pentingnya tabungan. Tahu kenapa butuh dana darurat.

Namun pengetahuan tidak selalu berubah jadi tindakan. Ledakan paylater jadi buktinya. Dorongan belanja sangat kuat, dan riset menunjukkan minat itu terus naik (CNBC Indonesia, 2023).

Prosesnya pun super ringkas. Beberapa klik saja. Niat menabung sering kalah oleh keinginan sesaat yang sekarang didorong teknologi.

Perlu juga bertanya lebih kritis. Paylater populer karena murni kebutuhan? Atau ada daya dorong lain yang lebih kuat?

Perusahaan fintech punya kantong promosi besar. Diskon dan cashback bertebaran. Cicilan nol persen juga muncul di banyak tempat (Daily Social, 2023).

Iklan-iklan ini membentuk citra baru: punya barang sekarang terasa wajar. Gaya hidup bayar belakangan terus didorong.

Alhasil, alasannya jadi kompleks. Bukan cuma soal gaji yang kurang, tetapi juga soal tekanan gaya hidup dan gempuran pemasaran yang agresif.

Teknologi finansial hanyalah alat. Sama seperti alat lain, ia bisa sangat bermanfaat atau justru merugikan. Tergantung cara kita memakainya.

Kemudahannya nyata, risikonya juga nyata. Tantangan terbesar bukan soal akses, melainkan soal kebijaksanaan saat menggunakan.

Masyarakat perlu benar-benar sadar terhadap konsekuensi, termasuk dari tiap klik persetujuan.

Di balik kemudahan, ada tanggung jawab. Tanggung jawab finansial yang tidak kecil.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun