Sejarah jarang benar-benar hitam putih. Selalu ada ruang abu-abu di tengahnya. Perpecahan PGRI adalah salah satu contohnya.
Kisah ini terjadi pada era Demokrasi Terpimpin, ketika politik jadi panglima tertinggi dan semua organisasi dipaksa menentukan posisi serta memilih kawan politiknya (Tirto.id, 2023).
Di panggung seperti itulah drama besar bergulir. Dan drama itu membelah organisasi pendidik terbesar di negeri ini.
Pada masa itu Sukarno mengusung gagasan persatuan bernama Nasakom, singkatan dari Nasionalis, Agama, Komunis. Tiga kekuatan besar didorong untuk bekerja sama demi menyukseskan revolusi dan pembangunan bangsa.
Kedengarannya padu. Tapi ideal persatuan justru memicu persaingan tajam di akar rumput.
Tarik-menarik terjadi antara kekuatan militer yang dominan dan Partai Komunis Indonesia. Pengaruh PKI sendiri terus membesar dari waktu ke waktu (Historia.id, 2018).
PGRI, sebagai organisasi guru terbesar, terseret masuk ke arus itu. Anggotanya tersebar sampai pelosok desa.
Guru dihormati. Suaranya didengar. Dan pengaruh sosial politiknya nyata. Posisi sekuat ini membuat PGRI jadi rebutan.
Ia berubah menjadi ladang perebutan pengaruh, diincar militer di satu sisi dan dilirik PKI untuk kepentingan ideologinya (Penerbit BRIN, 2021).
Padahal sejak awal PGRI berdiri sebagai organisasi independen, non-partisan. Itu kesepakatan yang lahir dari kongres.
Para guru ingin fokus memperjuangkan nasib mereka dan memajukan pendidikan nasional. Namun iklim politik yang kian panas membuat idealisme seperti itu sulit bertahan.